Anak ikut demo: Peran negara dalam memfasilitasi dan melindungi aksi protes
- Written by Yvonne Kezia Dhianingtyas Nafi, Lecturer/Doctoral Candidate, Universitas Indonesia

● Banyak anak dalam demonstrasi menjadi korban kekerasan dan penyimpangan hukum.
● Demonstrasi bukanlah ruang aman, tapi larangan justru membatasi ekspresi anak.
● Negara perlu memfasilitasi berbagai aksi politik anak sebagai kontribusi dalam demokrasi.
Demonstrasi di Jakarta serta kota-kota besar lainnya sejak akhir Agustus turut diwarnai penangkapan ribuan anak (berusia sekitar 12-17 tahun) oleh polisi. Di Jawa Tengah, dari 29 Agustus hingga 1 September 2025, sebanyak 1.058 anak ditangkap polisi[1].
Di Jakarta, 196 anak ditahan[2] hampir 20 jam tanpa pendampingan hukum sebelum akhirnya dipulangkan.
Sementara di Semarang, 10 orang demonstran ditangkap, mayoritas adalah anak[3], dan mereka tak punya akses bantuan hukum.
Di Pontianak, sejumlah anak juga ditangkap, tetapi kali ini sempat didampingi LBH[4] dalam proses hukum.
Fenomena ini menunjukkan pola: anak-anak menjadi kelompok rentan yang paling mudah ditangkap, tetapi paling lemah mendapatkan pelindungan hukum. Tulisan ini saya buat berdasarkan pengalaman mengamati beberapa advokasi demonstran anak yang tertangkap polisi.
Banyak dari anak-anak yang tertangkap ini sejatinya bukan aktor politik, melainkan korban arus massa. Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyebut[5] sebagian besar pelajar mengaku ikut aksi karena diajak teman, kakak kelas, atau terpengaruh ajakan di media sosial seperti TikTok.
Bahkan ada yang ditangkap hanya karena kebetulan berada di lokasi tanpa bermaksud ikut aksi, bahkan pengetahuan sedikit tentang isu yang diprotes pun masih sedikit.
Fakta ini menunjukkan bahwa keterlibatan anak dalam demonstrasi sering kali lahir dari rasa penasaran, ajakan lingkungan sekitar, atau bahkan provokasi.
Keterbatasan akses pelindungan hukum
Salah satu cerita datang dari keponakan kolega saya: Amir (bukan nama sebenarnya) yang berasal dari Jakarta. Ia bersama dua rekannya bermaksud hanya menonton demonstrasi di Pondok Gede, pada malam 30 Agustus.
Mereka berhenti dengan motor di dekat sebuah rumah sakit, sekitar 30 meter dari lokasi bentrokan antara massa dan aparat. Namun, dalam hitungan menit, aparat berpakaian preman mendorong mereka hingga jatuh, lalu membawa mereka ke kantor polisi bersama 18 orang lainnya.
Malam itu juga, mereka dipindahkan ke kantor polisi tingkat lebih tinggi. Orang tua menunggu seharian, tetapi tidak diberi akses bertemu. Bahkan ada orang tua yang baru mengetahui anaknya ditangkap setelah pihak kelurahan mendatangi rumah.
Proses Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pun berlangsung janggal: ditandatangani dua kali dengan isi berbeda.
Di versi pertama tidak ada pernyataan tentang pendampingan hukum. Namun, di versi kedua tiba-tiba ditambahkan keterangan bahwa anak menolak didampingi pengacara dan hanya ingin didampingi orang tua. Semua ini dilakukan tanpa akses telepon dan tanpa transparansi.
Yang lebih mengkhawatirkan, sembilan dari 18 orang tersebut adalah anak di bawah umur, dengan yang termuda masih berusia siswa SMP. Tidak ada satu pun yang langsung dibebaskan.
Awalnya, perwakilan KPAI dan lembaga bantuan hukum yang sempat berdiskusi dengan anak-anak menyampaikan bahwa mereka akan segera dipulangkan. Namun, begitu pendamping pergi, keputusan berubah: anak-anak justru ditetapkan sebagai tersangka.
Read more: Reformasi total kepolisian mendesak–tapi secara politik tidak akan mudah[6]
Orang tua Amir kemudian diberi surat penahanan sekaligus formulir permohonan penangguhan penahanan. Ini membuat situasi semakin membingungkan dan penuh tekanan.
Berdasarkan kesaksian beberapa orang tua yang datang di lokasi, anak-anak mereka yang mencoba melawan bahkan mengalami kekerasan fisik, seperti sundutan rokok di tubuh dan bekas sabetan di punggung.
Hak anak harus dilindungi
Berbagai kejadian di atas bukan hanya pelanggaran prosedur, tetapi merupakan pengingkaran terhadap prinsip dasar: kepentingan anak harus menjadi prioritas.
Undang-Undang Perlindungan Anak[7] menegaskan bahwa setiap keputusan yang menyangkut anak harus selalu menempatkan kepentingan terbaik anak (best interest of the child) sebagai pertimbangan utama.
Prinsip ini berarti aparat tidak boleh semata-mata melihat anak sebagai pelaku pelanggaran hukum, melainkan sebagai individu yang masih dalam proses tumbuh kembang dan berhak mendapatkan perlindungan khusus.
Sejalan dengan itu, UU Sistem Peradilan Pidana Anak[9] memberikan rambu-rambu yang tegas: anak berhak didampingi orang tua dan/atau penasihat hukum sejak awal pemeriksaan. Anak hanya boleh ditahan sebagai upaya terakhir dan dalam waktu sesingkat mungkin.
Anak pun tidak boleh ditempatkan bersama tahanan dewasa. Penyelesaian perkara anak harus mengutamakan pendekatan restorative justice[10] atau keadilan restoratif ketimbang kriminalisasi.
Anak dan demonstrasi: Ruang yang tidak aman
Memang, tak sedikit anak yang tampaknya melek politik dan melakukan aksi aksi dalam berbagai bentuk. Misalnya siswa-siswa SMA Kolese Gonzaga yang sempat mengunggah sikap mereka di media sosial[11].
Saya menganggap aksi mereka perlu dihargai sebagai kontribusi warga terhadap demokrasi. Kendati begitu, kita perlu menyadari bahwa demonstrasi merupakan ruang yang berisiko bagi anak.
Sebuah penelitian di Hong Kong menunjukkan bahwa keterlibatan remaja dan mahasiswa dalam protes massal berdampak signifikan[12] terhadap kesehatan mental serta identitas mereka.
Banyak yang mengalami kecemasan, ketakutan, dan kehilangan rasa aman. Bahkan ada yang mempertimbangkan untuk meninggalkan Hong Kong sebagai dampak dari situasi protes tersebut.
Karena itu, ada tanggung jawab kolektif yang harus dijalankan untuk melindungi anak:
1. Orang tua perlu lebih aktif mengawasi aktivitas anak, terutama dalam penggunaan media sosial yang kerap menjadi pintu ajakan ke ruang-ruang berisiko.
2. Sekolah semestinya membekali pelajar dengan literasi tentang kebebasan berpendapat—bukan hanya hak, tetapi juga batasan usia dan cara aman menyalurkan aspirasi.
Sebaliknya, upaya represi seperti larangan total[13] bagi pelajar untuk ikut serta dalam demonstrasi, justru berisiko membatasi ekspresi anak[14].
3. Negara wajib menciptakan saluran partisipasi yang ramah anak, seperti forum aspirasi pelajar, konsultasi publik berbasis sekolah, atau wadah kreatif lain yang dapat menyalurkan pendapat anak tanpa membuat mereka berhadapan dengan aparat dan risiko kriminalisasi.
Read more: Sejarah Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI): dari perlawanan terhadap kolonialisme hingga wadah dukungan mahasiswa[15]
UNICEF[16] pun menegaskan bahwa anak berhak atas kebebasan berkumpul secara damai.
Oleh karena itu, pembatasan terhadap partisipasi anak semestinya menjadi upaya terakhir yang hanya diterapkan bila benar-benar diperlukan untuk melindungi kepentingan terbaik anak.
Pelaksanaannya pun harus proporsional, tanpa menggunakan kekuasaan berlebihan seperti menangkap—terlebih melakukan kekerasan terhadap mereka.
References
- ^ ditangkap polisi (regional.kompas.com)
- ^ 196 anak ditahan (nasional.kompas.com)
- ^ mayoritas adalah anak (www.tempo.co)
- ^ tetapi kali ini sempat didampingi LBH (www.detik.com)
- ^ menyebut (nasional.kompas.com)
- ^ Reformasi total kepolisian mendesak–tapi secara politik tidak akan mudah (theconversation.com)
- ^ Undang-Undang Perlindungan Anak (peraturan.bpk.go.id)
- ^ Polri.go.id (tribratanews.jateng.polri.go.id)
- ^ UU Sistem Peradilan Pidana Anak (peraturan.bpk.go.id)
- ^ restorative justice (puskapa.org)
- ^ di media sosial (www.tempo.co)
- ^ berdampak signifikan (www.tandfonline.com)
- ^ larangan total (setjen.kemendikdasmen.go.id)
- ^ justru berisiko membatasi ekspresi anak (www.tempo.co)
- ^ Sejarah Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI): dari perlawanan terhadap kolonialisme hingga wadah dukungan mahasiswa (theconversation.com)
- ^ UNICEF (policehumanrightsresources.org)
Authors: Yvonne Kezia Dhianingtyas Nafi, Lecturer/Doctoral Candidate, Universitas Indonesia