Asian Spectator

Men's Weekly

.

Kenaikan harga tiket Transjakarta: Antara kemampuan masyarakat dan beban pemda Jakarta

  • Written by Nirma Yossa, Peneliti Pusat Riset Kependudukan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

● Setelah 2 dekade, harga tiket Transjakarta bakal naik.

● Pemerintah daerah Jakarta sedang menghadapi paceklik sehingga harus mengurangi subsidi.

● Jika kenaikan harga tiket lebih tinggi dari ekspektasi, dikhawatirkan penggunaan kendaraan pribadi akan makin menjadi-jadi.

Tidak terasa, pada 2025 ini Transjakarta (TJ) sudah wara-wiri di jalanan Jakarta, hingga akhirnya berkembang ke kawasan Jabodetabek, selama 21 tahun. Selama itu pula, harga tiket Transjakarta stabil[1] di angka Rp3.500 per perjalanan.

Namun agaknya setelah dua dekade, harga tiket TJ akan naik. Pemerintah Jakarta menyatakan perlunya penyesuaian gelontoran subsidi tiket[2].

Seperti yang diketahui, pemerintah memberikan subsidi harga tiket TJ melalui skema public service obligation/PSO[3].

Artinya, Pemerintah Jakarta menggelontorkan subsidi dari APBD yang jumlahnya triliunan tiap tahun untuk menanggung beban harga tiket sesungguhnya yang angkanya mencapai belasan ribu rupiah.

Gubernur Pramono Anung mengatakan penyesuaian diperlukan lantaran pendapatan berbagai pos anggaran seperti transfer daerah dan dana bagi hasil (DBH) jeblok[4] karena kondisi perekonomian makro yang sedang kurang sehat.

Namun jika pemerintah sedang menghadapi kondisi buruknya perekonomian, masyarakat tentunya juga merasakan hal serupa secara langsung.

Read more: Jakarta jadi kota global: Apa artinya dan dampaknya bagi penduduk?[5]

Ketika wacana kenaikan tarif Transjakarta muncul, pertanyaannya bukan semata “berapa besar kenaikannya”. Melainkan bagaimana akibatnya pada penumpang di tengah harga barang dan jasa yang terus melangit[6].

Seberapa kuat daya beli masyarakat?

Menurut data Kementerian Perhubungan (2024), biaya transportasi[7] menyedot 12,46% pengeluaran rumah tangga di Indonesia.

Padahal, standar Bank Dunia[8] (2023) angka idealnya tidak lebih dari 10% dari total biaya hidup bulanan.

Kenaikan harga tiket Transjakarta: Antara kemampuan masyarakat dan beban pemda Jakarta
Padatnya kawasan megapolitan Jakarta Raya membuat transportasi umum seperti Transjakarta jadi solusi bagi masyarakat. Tidak kurang jutaan penumpang berlalu-lalang setiap harinya menggunakan bis-bis Transjakarta. Transjakarta yang sudah 2 dekade hilir mudik di jalanan Jakarta dan sekitarnya sudah menjadi salah satu simbol kota Jakarta. Grafis: The Conversation Indonesia/ Andi Ibnu | Sumber: PT Transportasi Jakarta

Jika kita menelisik ketika TransJakarta menetapkan tarif Rp3.500 pada 2005, UMP Jakarta[9] saat itu adalah Rp711.843 per bulan.

Dengan asumsi biaya perjalanan pulang-pergi harian adalah Rp7 ribu, tarif tersebut setara dengan sekitar 0.49% dari UMP.

20 tahun berselang, UMP saat ini sudah sebesar Rp5,4 juta. Tarif sekarang secara proporsional bisa mencapai sekitar Rp26 ribu pulang pergi atau Rp780 ribu per bulan. Angka tersebut berporsi 14,5% dari UMP.

Sementara jika mengikuti batas maksimal beban transportasi Bank Dunia terhadap pendapatan per bulan, angka ideal ada di Rp9 ribu sekali jalan.

Jika merujuk pada angka tiket riil (tanpa subsidi) per penumpang yang saat ini sebesar Rp13 ribu. Maka pemda Jakarta masih perlu memberi subsidi sebesar Rp4 ribuan per pelanggan.

Namun apakah angka Rp9 ribu bisa diterima oleh semua lapisan kalangan masyarakat?

Jawabannya tentu tidak. Sebab, tidak semua orang memiliki penghasilan rutin dan sebesar UMP.

Ada sekitar 30 juta jiwa[10] yang menetap di kawasan Jabodetabek. Dan secara proporsi lebih dari separuh orang berusia produktif yang ada merupakan pekerja informal[11].

Read more: Polusi Jakarta: perlu transportasi publik berkualitas untuk menghadirkan udara bersih di ibu kota[12]

Ujian pemerataan dan keadilan transportasi umum

Bagi Pemda Jakarta, kebijakan ini memang perlu perhitungan matang. Karena meski harus berhemat duit daerah, Pemda Jakarta tetap harus mengkedepankan fungsi pelayanan publiknya.

Sebagai titik tengah, pemerintah Jakarta[13] perlu menggeser fokus dari subsidi untuk tarif flat ke subsidi dari sisi permintaan (demand-side subsidies), yang secara khusus menargetkan kelompok rentan.

Hal ini sukses dilakukan pemerintah Bogotá dan Buenos Aires Argentina[14] sebelumnya.

Fungsi ini sebenarnya juga sudah oleh Pemda Jakarta. Belum lama ini Pemda Jakarta menerbitkan Peraturan Gubernur Jakarta Nomor 33 Tahun 2025 tentang Pemberian Layanan Angkutan Umum Massal Gratis Bagi 15 Kelompok Masyarakat Tertentu[15].

Meski tampak progresif, kebijakan ini sekaligus membuka perdebatan baru soal keadilan spasial dan sosial mengenai siapa yang berhak atas mobilitas gratis.

Pun dengan bagaimana mekanisme verifikasi pendapatan dilakukan, dan sejauh mana program semacam ini mampu mendorong pergeseran moda secara berkelanjutan tanpa membebani kas daerah.

Pendekatannya bisa melalui integrasi data Kartu Jakarta Pintar (KJP[16]) dengan sistem Jakarta Kini (JAKI[17]) dan Dinas atau unit Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil[18]) sehingga penerima manfaat transportasi gratis dapat diverifikasi otomatis dan transparan.

Read more: Indonesia butuh rencana jangka panjang--tak hanya subsidi--untuk transportasi berbasis listrik[19]

Penguatan transportasi pengumpan (mikrotrans) dan jalur pejalan kaki juga menjadi kunci agar biaya keseluruhan perjalanan warga menurun[20].

Risiko makin membludaknya kendaraan pribadi

Simulasi oleh Institute for Essential Services Reform (IESR)[21] mengungkapkan, jika tarif TJ dinaikkan ke Rp9.515 (angka yang setara dengan penyesuaian inflasi sejak 2005), jumlah penumpang diperkirakan turun 6.9–7.5%.

Penurunan ini kian melebar sekitar 10–11%, jika tarif riil (sekitar Rp13 ribuan) tanpa subsidi, diberlakukan.

Kenaikan harga tiket Transjakarta: Antara kemampuan masyarakat dan beban pemda Jakarta
Macetnya jalanan Jakarta di setiap jam berangkat dan pulang kerja. wibisono.ari/ Shutterstock.com[22]

Temuan ini dikuatkan oleh sebuah riset (2014)[23] yang mencatat bahwa ketika tarif transportasi umum dinaikkan tanpa adanya peningkatan kualitas layanan, penurunan penumpang akan meningkat jadi 7–11%.

Sensitivitas harga yang tinggi ini menunjukkan keterjangkauan masih menjadi penentu utama keputusan mobilitas warga.

Namun, hal ini juga dapat diinterpretasikan sebagai indikator sensitivitas publik terhadap harga. Sebab, mereka merasa tarif yang dibayar tidak memberikan nilai yang sepadan dengan kualitas layanan yang diterima.

Akibatnya kelak, jumlah kendaraan pribadi akan makin menjamur di kawasan megapolitan Jakarta. Sebab masyarakat sulit mendapatkan transportasi yang semurah dan seefisien TJ.

Dorongan untuk efisien dan peningkatan pelayanan TJ

Wacana ini juga jadi tantangan sendiri bagi badan usaha operator Transjakarta yakni PT Transportasi Jakarta[24].

Selama ini BUMD tersebut terus memoles operasionalnya seefisien mungkin. Sebab, PT Transportasi Jakarta juga harus memitigasi pengurangan beban subsidi yang dibayarkan pemerintah.

Wacana kenaikan harga tiket TJ
Armada TJ dari brand Zhong Tong yang pernah jadi polemik kasus korupsi di era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahol. Art Konovalov/ Shutterstock.com[25]

Per tahun 2024, Pemda Jakarta mensubsidi per penumpang[26] sebesar Rp9.300. Subsidi bahkan sempat tembus Rp16 ribu per pelanggan pada 2022 silam.

Di luar ekspansi bisnis, PT Transportasi Jakarta juga harus memikirkan faktor lain seperti kenyamanan dan faktor non-moneter seperti biaya waktu yang jadi kunci pelayanan TJ dan loyalitas masyarakat.

Analisis akademis[27] mendorong TJ untuk terus membenahi efisiensi biaya waktu[28] (time cost) seperti penerapan jalur khusus yang masih sering disusupi kendaraan pribadi.

Tanpa manajemen yang baik, TJ rawan blunder.

Salah-salah karena dituntut terjangkau dan efisien, manajemen mengambil jalan pintas menutup tingginya operasional dengan mengurangi ukuran armada, kualitas, frekuensi, dan jangkauan jaringan.

Kesimpulannya, kenaikan tarif menjadi ujian pemerintah dalam mewujudkan keadilan mobilitas (mobility justice)[29] yang menempatkan hak untuk bergerak sebagai bagian dari hak sosial warga negara.

Namun isu keadilan mobilitas seharusnya bergeser bukan lagi berfokus pada kebijakan negara, tapi berorientasi pada masyarakat. Ini menekankan pada hak warga untuk bergerak secara adil, aman, merata, dan bermartabat.

References

  1. ^ stabil (megapolitan.kompas.com)
  2. ^ penyesuaian gelontoran subsidi tiket (www.cnnindonesia.com)
  3. ^ PSO (berkas.dpr.go.id)
  4. ^ transfer daerah dan dana bagi hasil (DBH) jeblok (www.cnnindonesia.com)
  5. ^ Jakarta jadi kota global: Apa artinya dan dampaknya bagi penduduk? (theconversation.com)
  6. ^ harga barang dan jasa yang terus melangit (investor.id)
  7. ^ biaya transportasi (www.cnnindonesia.com)
  8. ^ Bank Dunia (www.cnnindonesia.com)
  9. ^ UMP Jakarta (news.detik.com)
  10. ^ 30 juta jiwa (investortrust.id)
  11. ^ merupakan pekerja informal (www.metrotvnews.com)
  12. ^ Polusi Jakarta: perlu transportasi publik berkualitas untuk menghadirkan udara bersih di ibu kota (theconversation.com)
  13. ^ pemerintah Jakarta (openknowledge.worldbank.org)
  14. ^ Bogotá dan Buenos Aires Argentina (publications.iadb.org)
  15. ^ Peraturan Gubernur Jakarta Nomor 33 Tahun 2025 tentang Pemberian Layanan Angkutan Umum Massal Gratis Bagi 15 Kelompok Masyarakat Tertentu (peraturan.bpk.go.id)
  16. ^ KJP (kjp.jakarta.go.id)
  17. ^ JAKI (jaki.jakarta.go.id)
  18. ^ Dukcapil (kependudukancapil.jakarta.go.id)
  19. ^ Indonesia butuh rencana jangka panjang--tak hanya subsidi--untuk transportasi berbasis listrik (theconversation.com)
  20. ^ biaya keseluruhan perjalanan warga menurun (doi.org)
  21. ^ Simulasi oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) (x.com)
  22. ^ wibisono.ari/ Shutterstock.com (www.shutterstock.com)
  23. ^ sebuah riset (2014) (www.ppiaf.org)
  24. ^ PT Transportasi Jakarta (www.transjakarta.co.id)
  25. ^ Art Konovalov/ Shutterstock.com (www.shutterstock.com)
  26. ^ mensubsidi per penumpang (wartakota.tribunnews.com)
  27. ^ Analisis akademis (www.e-elgar.com)
  28. ^ biaya waktu (doi.org)
  29. ^ keadilan mobilitas (mobility justice) (pubmed.ncbi.nlm.nih.gov)

Authors: Nirma Yossa, Peneliti Pusat Riset Kependudukan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Read more https://theconversation.com/kenaikan-harga-tiket-transjakarta-antara-kemampuan-masyarakat-dan-beban-pemda-jakarta-269190

Magazine

Integrasi pengetahuan lokal sebagai solusi iklim: Belajar dari masyarakat adat Bayan di Lombok

● Masyarakat adat Bayan di Lombok Utara, NTB, punya Wariga sebagai sistem pengetahuan alam yang presisi.● Ada juga arsitektur Bale Bayan yang terbukti tahan gempa dan sistem ‘awiq-aw...

Tan Malaka untuk pemula: Sejauh mana kita bisa mempercayai mitos?

● ‘Madilog’ karya Tan Malaka mengajak masyarakat Indonesia meninggalkan cara berpikir mistik dan beralih ke logika ilmiah.● Mitos dan rasio bukanlah lawan, melainkan dua bentuk...

Kenaikan harga tiket Transjakarta: Antara kemampuan masyarakat dan beban pemda Jakarta

● Setelah 2 dekade, harga tiket Transjakarta bakal naik.● Pemerintah daerah Jakarta sedang menghadapi paceklik sehingga harus mengurangi subsidi.● Jika kenaikan harga tiket lebih tin...