Diplomasi FOMO Prabowo: Simbolis, reaktif, berisiko mengancam legitimasi
- Written by Radityo Dharmaputra, Lecturer in Foreign Policy Analysis, Russia-Eastern European-Eurasian Studies, Department of International Relations, Universitas Airlangga, Universitas Airlangga

● Prabowo pergi ke Beijing di tengah memanasnya protes publik terhadap pemerintah.
● Prabowo cenderung reaktif dan memilih keputusan jangka pendek demi memanfaatkan kesempatan di waktu terbatas.
● Diplomasi FOMO Prabowo berisiko merusak legitimasi kepemimpinannya.
Gelombang protes besar yang melanda Indonesia beberapa waktu lalu menunjukkan ketidakpuasan masyarakat terhadap situasi sosial dan kebijakan pemerintah saat ini.
Di tengah situasi genting, Presiden Prabowo Subianto justru memilih berangkat ke Beijing[1], memenuhi undangan Presiden Xi Jinping untuk menghadiri perayaan 80 tahun kemenangan Cina di Perang Dunia II.
Langkah tersebut menimbulkan perdebatan: mengapa Prabowo lebih memilih tampil di panggung global ketimbang menghadapi situasi panas di dalam negeri?
Keputusan ini bukan sekadar persoalan jadwal kunjungan yang sempat dibatalkan, lalu akhirnya tetap dijalankan. Namun, kunjungan tersebut mencerminkan pola tertentu dalam politik luar negeri Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo, yaitu adanya rasa “takut ketinggalan” atau fear of missing out (FOMO).
Diplomasi FOMO
Fenomena kunjungan Prabowo ini dapat dipahami sebagai diplomasi FOMO. Secara psikologis[2], istilah FOMO merujuk pada kecenderungan seseorang untuk membandingkan dirinya dengan orang lain, yang kemudian berujung pada perasaan khawatir ketika dirinya merasa lebih inferior karena tidak terlibat dalam suatu hal.
FOMO akan terjadi ketika kesempatan untuk melakukan sesuatu (agar tidak merasa ketinggalan) juga terbatasi oleh waktu.
Dalam konteks politik luar negeri, diplomasi FOMO[5] didasarkan pada persepsi pemimpin bahwa ia akan tertinggal dari dialog rekan-rekannya (para pemimpin dunia yang lain), sehingga menyebabkan perasaan khawatir yang berlebihan.
Di situasi seperti itu, pemimpin cenderung berupaya untuk bersikap reaktif dan memilih keputusan jangka pendek demi memanfaatkan kesempatan di waktu terbatas.
Konsep serupa[6] juga bisa menjelaskan alasan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mendadak ikut ‘terlibat’ dalam serangan Israel ke Iran baru-baru ini.
Sejumlah analisis[7] menunjukkan bagaimana pemerintahan Trump yang awalnya menjaga jarak dari keputusan Israel menyerang Iran, mendadak mendukung dan bahkan mengatakan bahwa “kita berhasil mengontrol langit Iran[8]”.
Prabowo mewakili pola ini. Baginya, diplomasi adalah panggung pencarian legitimasi personal.
Keputusan reaktif Prabowo
Dalam kunjungannya ke Beijing, pola “reaktif” dan “jangka pendek” bisa dilihat dari keputusan awal Prabowo yang membatalkan kunjungannya ke Beijing[9], sebagaimana diumumkan oleh Mensesneg Prasetyo Hadi pada tanggal 30 Agustus 2025.
Hanya berselang tiga hari, saat situasi Indonesia masih dipenuhi protes massa, Prabowo memutuskan tetap berangkat ke Beijing karena ada “permintaan khusus[12]” dari Beijing.
Keputusan reaktif Prabowo ini bukan hal baru. Sebelumnya, proposal perdamaian Rusia-Ukraina versi Prabowo (saat itu masih menjabat Menteri Pertahanan) di Shangri-La Dialogue 2023 menuai kecaman dari banyak pihak[13] dan memecah[14] pemerintahan sendiri dengan perbedaan antara Kementerian Pertahanan (Kemhan) dan Kementerian Luar Negeri (Kemlu).
Isu yang beredar dari sumber-sumber internal menyebutkan bahwa proposal Prabowo mendadak muncul begitu saja tanpa masukan dari Kemlu maupun arahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo.
Begitu juga dengan keputusannya menerima pengungsi Palestina yang dikritik oleh para pemuka agama[15].
Untuk memahami keputusannya mengubah pembatalan kunjungan ke Beijing, kita perlu melihat pertemuan Shanghai Cooperation Organization (SCO) di Tianjin, 31 Agustus sampai 1 September 2025. Saat itu, Prabowo hanya diwakili oleh Menlu Sugiono[16].
Padahal, di forum tersebut pemimpin lain seperti PM India Narendra Modi ikut hadir[17] dan berkontribusi pada dialog.
Secara substansi, pertemuan SCO lebih penting[18] daripada simbolisme kehadiran pada parade 80 tahun di Beijing. Namun, Prabowo justru lebih mementingkan kehadiran di acara seremonial dibandingkan dengan acara lain.
Hal serupa pernah terjadi pula ketika Prabowo memberi pidato kunci[19] di St. Petersburg International Economic Forum (SPIEF) 2025, sebuah forum yang ditujukan untuk mencari investasi bagi Rusia[20]. Di saat yang sama, ia menolak hadir sebagai tamu kehormatan pada pertemuan G7 di Kanada.
Walaupun alasan formal[21] yang diberikan adalah bahwa undangan dari Rusia sudah dikonfirmasi terlebih dahulu, yang terlihat adalah Prabowo menerima undangan ketika ia diberi posisi penting secara seremonial.
Di Rusia, ia diberi panggung dan kursi[22] sejajar di samping Presiden Vladimir Putin.
Prabowo tampak berusaha menegaskan posisi personalnya di tengah kompetisi kekuatan besar. Kunjungannya ke banyak negara bukan tentang kepentingan nasional, tetapi soal menunjukkan dirinya sejajar dengan para pemimpin dunia[23].
Dengan kata lain, diplomasi FOMO bukan strategi, melainkan kebutuhan simbolik untuk tidak terlihat tertinggal di saat pemimpin yang lain berkumpul.
Risiko legitimasi
Pola diplomasi FOMO ini memiliki implikasi yang lebih luas bagi arah politik luar negeri Indonesia.
Pertama, diplomasi yang terlalu fokus pada simbolisme akan cenderung reaktif, tanpa ada arah strategis yang jelas. Negara dan presidennya hadir di banyak forum, tetapi tanpa peta jalan yang jelas mengenai apa yang ingin dicapai dari kehadiran tersebut.
Kedua, jika hasil nyata dari diplomasi hanya berupa proyek raksasa yang diragukan manfaatnya, maka rakyat akan semakin skeptis terhadap politik luar negeri. Kesenjangan antara “prestasi internasional” dengan kebutuhan domestik akan semakin lebar.
Ketiga, kondisi ini melemahkan posisi Indonesia di mata dunia. Kredibilitas internasional tidak hanya dibangun dari kehadiran simbolis dan pemberian posisi duduk di panggung kehormatan, tetapi juga dari konsistensi kebijakan dan keberhasilan domestik.
Presiden yang lebih dikenal lewat foto-foto dengan pemimpin besar dunia, tetapi absen ketika rakyatnya berdemonstrasi, akan menghadapi risiko krisis legitimasi. Dalam politik, citra semacam itu sulit dipulihkan.
Jika diplomasi FOMO ini terus berlanjut, Indonesia (dan Prabowo) mungkin akan mendapatkan banyak judul berita serta foto di panggung internasional dan proyek-proyek besar. Namun, kepercayaan dan legitimasi di mata rakyatnya sendiri—yang jauh lebih penting—justru bisa hilang.
References
- ^ memilih berangkat ke Beijing (www.channelnewsasia.com)
- ^ Secara psikologis (link.springer.com)
- ^ Laily Rachev/Biro Pers Sekretariat Presiden (www.presidenri.go.id)
- ^ CC BY (creativecommons.org)
- ^ diplomasi FOMO (www.tandfonline.com)
- ^ Konsep serupa (www.youtube.com)
- ^ Sejumlah analisis (www.danschnurpolitics.com)
- ^ kita berhasil mengontrol langit Iran (www.nbcnews.com)
- ^ membatalkan kunjungannya ke Beijing (www.antaranews.com)
- ^ Muchlis Jr/Biro Pers Sekretariat Presiden (www.presidenri.go.id)
- ^ CC BY (creativecommons.org)
- ^ permintaan khusus (www.presidenri.go.id)
- ^ menuai kecaman dari banyak pihak (www.kompas.id)
- ^ memecah (www.youtube.com)
- ^ dikritik oleh para pemuka agama (banten.nu.or.id)
- ^ diwakili oleh Menlu Sugiono (www.antaranews.com)
- ^ Narendra Modi ikut hadir (www.abc.net.au)
- ^ lebih penting (en.antaranews.com)
- ^ pidato kunci (setneg.go.id)
- ^ mencari investasi bagi Rusia (www.reuters.com)
- ^ alasan formal (indonesia.go.id)
- ^ panggung dan kursi (www.metrotvnews.com)
- ^ menunjukkan dirinya sejajar dengan para pemimpin dunia (360info.org)
- ^ Laily Rachev/Biro Pers Sekretariat Presiden (www.presidenri.go.id)
- ^ CC BY (creativecommons.org)
Authors: Radityo Dharmaputra, Lecturer in Foreign Policy Analysis, Russia-Eastern European-Eurasian Studies, Department of International Relations, Universitas Airlangga, Universitas Airlangga