Belajar dari pasangan Jawa dan Tionghoa: Strategi negosiasi untuk hubungan antar etnis
- Written by Jony Eko Yulianto, Community and Applied Social Psychologist, Universitas Ciputra

● Pernikahan beda suku tak selalu kental dengan konflik antar etnis.
● Pernikahan antar etnis justru menghasilkan strategi negosiasi dalam bentuk tindakan-tindakan praktis yang menguatkan hubungan.
● Perbedaan budaya bisa dinegosiasikan dan melahirkan kerukunan.
Pernikahan beda suku sering dipandang sebagai sebuah ‘anomali’ yang bakal sulit hidup harmonis di Indonesia. Namun, meski sering dianggap rawan konflik, nyatanya 11% penduduk Indonesia[1] menikah beda etnis.
Kasus pernikahan beda suku yang sering kita temui adalah pernikahan antara etnis Jawa dan Tionghoa. Di media sosial seperti TikTok, banyak pasangan Jawa dan Tionghoa yang mengupas lika-liku cinta mereka.
Dua etnisitas ini punya posisi spesial. Suku Jawa adalah representasi etnis mayoritas. Masyarakat beretnis Tionghoa, meskipun berjumlah kurang dari 3% populasi, memegang kendali lebih dari 70% perekonomian nasional[2]. Sayangnya, relasi historis ini tak luput dari ketegangan[3]—terutama saat Orde Baru.
Saya adalah peneliti dengan latar belakang psikologi sosial. Selama satu dekade terakhir, saya berdedikasi mengulik pernikahan Jawa dan Tionghoa.
Saya menemukan sebuah pola bagaimana ‘ruang ketiga’ terbentuk dari strategi negosiasi yang hadir dalam bentuk tindakan-tindakan keseharian. Walau terkadang masih sulit diterima[4], pasangan Jawa dan Tionghoa berhasil membentuk strategi negosiasi budaya untuk menciptakan harmoni dari hubungan beda suku.
Negosiasi pembentuk ruang ketiga
Penelitian saya[5] melibatkan 10 pasangan suami istri di Jawa Timur yang diwawancarai pada November 2019 hingga Januari 2020. Saya menemukan bahwa pasangan Jawa–Tionghoa membawa pengetahuan ulayat (tradisi dan nilai dari masing-masing budaya) ke dalam pernikahan mereka.
Dalam prosesnya, mereka bersama-sama memilih mana tradisi yang tetap dijaga, dan mana yang ditinggalkan. Dari situ lahirlah budaya baru.
Inilah yang kemudian menjadi “ruang ketiga” tempat mereka membangun kehidupan rumah tangga harmonis. Ruang ini merupakan hasil persilangan dua pengetahuan ulayat yang unik.
Budi dan Maimunah menceritakan ruang ketiga dalam hal memenuhi ekspektasi beragama.
Maimunah yang merupakan seorang Muslim menceritakan bahwa negosiasinya berkaitan dengan ayah mertuanya yang merupakan seorang Tionghoa.
“Kita akan ada acara yang melibatkan keluarga besar. Tapi aku ingin kamu datang tanpa menggunakan jilbab. Sebab kamu dulu menikah dengan anakku tanpa menggunakan jilbab”.
Bagi Maimunah, menggunakan jilbab adalah keputusan seumur hidup. Namun, di sisi lain, ia juga berkomitmen untuk menghormati ayah mertuanya.
Maimunah menegosiasikan kondisi tersebut dengan alih-alih mengenakan model jilbab umum, ia menata jilbabnya menjadi hijab stylish.
Apa yang dilakukan Maimunah merupakan bentuk artikulasi [8]yang berbeda dari apa yang biasa ia lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Hijab stylish ini merupakan bukti upaya akomodasi kepentingannya menutup aurat sekaligus penghormatan pada ayah mertuanya.
Nita dan Hendra menceritakan bahwa ruang ketiga mereka hadir dalam sepiring makanan.
Nita, seorang Jawa, dibesarkan dengan cara-cara memasak tradisional. Perlu bumbu tertentu untuk membuat masakan menjadi masakan Jawa.
Setelah menikah dengan Hendra, ia mulai memahami bahwa masakan Tionghoa memiliki cara memasak dan bumbu berbeda. Nita menggabungkan apa yang ia pelajari dari keluarga Jawa untuk memasak masakan Tionghoa yang diberikan pada suaminya.
Dalam sebuah sesi memasak bersama, Nita memasak Bak Kut Teh kesukaan Hendra.
“Caranya begini, ini di gongso, goreng tanpa minyak, kata orang Jawa”, kata Nita. “Kapan kecap asinnya masuk?”, tanya saya. “Enggak. Kita akan pakai garam. Aku ngerti sih, kalau orang Chinese kalau butuh asin pakai kecap asin. Ini makananku emang enggak Chinese banget, ya. Aku pakai cara Jawa. Tapi supaya tetap jadi Chinese food, aku menggunakan saos tiram.”
Nita menunjukkan bahwa masakan menjadi ruang ketiga dalam pernikahan mereka. Bagi pasangan beda suku, makanan bukan hanya tentang nutrisi dan sumber energi. Masakan juga merupakan bentuk budaya—hasil percampuran pengetahuan ulayat dari keluarga masing-masing.
Read more: Intoleransi agama kian memburuk di tengah rezim yang makin otoriter[9]
Masakan menjadi ruang adaptasi dua budaya. Di satu sisi, Nita menunjukkan bahwa dengan memasak masakan Tionghoa, ia dapat memenuhi perannya sebagai istri yang membantu suaminya menyantap makanan yang menjadi identitas keluarga Tionghoanya. Di sisi lain, masakan ini membantu Nita sendiri untuk menjadi seorang anak yang mempertahankan cara memasak yang diajarkan oleh keluarga Jawanya.
Relevansi untuk kita
Pernikahan Jawa dan Tionghoa bukan hanya perkara cinta, tetapi juga soal narasi tentang antarsuku, yang kerap kali dipolitisasi.
Pernikahan Jawa–Tionghoa menunjukkan bahwa harmoni antar-suku tidak hanya lahir dari kebijakan besar, tetapi juga dari praktik sederhana sehari-hari—di meja makan, dapur, atau cara berbahasa. Temuan ini menegaskan bahwa perbedaan budaya bisa dinegosiasikan dan melahirkan bentuk baru yang tetap rukun.
Ruang ketiga ini juga menunjukkan bahwa pengetahuan ulayat ini tidaklah kaku. Ia terus berevolusi dengan pengetahuan ulayat lainnya, merajut dirinya kembali, dan melahirkan bentuk baru.
References
- ^ 11% penduduk Indonesia (www.tandfonline.com)
- ^ kurang dari 3% populasi, memegang kendali lebih dari 70% perekonomian nasional (www.tandfonline.com)
- ^ ketegangan (www.jstor.org)
- ^ sulit diterima (www.tandfonline.com)
- ^ Penelitian saya (www.researchgate.net)
- ^ konsep pertautan (edinburghuniversitypress.com)
- ^ Mengenang Mei 1998: Antara ingatan kolektif dan harmoni antaretnis akar rumput (theconversation.com)
- ^ artikulasi (www.taylorfrancis.com)
- ^ Intoleransi agama kian memburuk di tengah rezim yang makin otoriter (theconversation.com)
Authors: Jony Eko Yulianto, Community and Applied Social Psychologist, Universitas Ciputra