Krisis legitimasi pejabat negara: Terpilih dalam pemilu, tapi gagal jaga kepercayaan rakyat
- Written by Akhmad Saputra syarif, Peneliti di Laboratorium Psikologi Politik, Universitas Indonesia

● Masyarakat kini tengah mempertanyakan legitimasi para pemimpin negara dan wakil rakyat.
● Legitimasi bisa hilang jika pejabat tidak menjaga kepercayaan publik.
● Gelombang protes menunjukkan adanya daya tawar rakyat dalam menjaga akuntabilitas pemimpin.
Rangkaian demonstrasi pada akhir bulan Agustus 2025 yang diwarnai kerusuhan turut menandai krisis legitimasi para wakil rakyat, termasuk kepala daerah, meski mereka terpilih langsung melalui proses pemilihan umum (pemilu).
Legitimasi bisa hilang ketika kebijakan atau tindakan mereka dianggap tidak transparan, tidak berpihak pada rakyat, atau bahkan merugikan publik.
Misalnya, tingkah DPR bahkan memicu protes[1] karena kerap mengesahkan aturan yang bertentangan dengan kepentingan publik dan prosesnya tidak transparan. Pengesahan UU Cipta Kerja[2] dan revisi UU TNI menjadi contoh jelas.
Contoh lainnya adalah Bupati Pati, Sudewo, di Jawa Tengah yang kebijakannya menaikkan tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) membuat marah warga Pati hingga muncul tuntutan pelengseran[3]. Namun, ia justru menolak turun karena merasa telah “dipilih rakyat secara konstitusional dan secara demokratis[4].”
Bupati Bone, Sulawesi Selatan, juga pernah menghadapi situasi yang sama. Kebijakan menaikkan pajak[5], meski sah secara hukum, justru ditolak keras warga karena tidak diiringi keabsahan sosial yang cukup.
Tuntutan dan kritik masyarakat tersebut menunjukkan bahwa kemenangan di pemilu (legitimasi formal) tidak otomatis membuat rakyat menerima semua kebijakan mereka.
Jika keputusan yang diambil justru memberatkan atau merugikan masyarakat, dukungan sosial bisa hilang meskipun secara hukum mereka sah berkuasa.
Artinya, legitimasi bukanlah tiket sekali beli dari pemilu. Para pejabat harus terus merawatnya melalui kinerja, transparansi, dan keberpihakan pada publik.
Legitimasi bukan penisbahan formal yang diberikan negara kepada individu sebagai pemenang pemilu, melainkan sebuah proses yang membutuhkan pengakuan berkelanjutan dari publik.
Sumber legitimasi
Dalam banyak literatur akademik[7], legitimasi muncul dari karakteristik individu atau institusi. Kepercayaan publik tumbuh karena karakteristik itu, sehingga masyarakat merasa wajar memberikan pengakuan.
Penelitian[8] menunjukkan bahwa legitimasi penting dalam menentukan sejauh mana individu bersedia bekerja sama atau mematuhi otoritas. Kalau hukum atau otoritas dianggap sah dan adil, orang lebih cenderung mau bekerja sama dan patuh.
Read more: Politik itu penuh negosiasi, tetapi etika dan legitimasi harga mati[9]
Legitimasi memegang peran krusial bagi seorang pemimpin karena menjadi landasan moral, hukum, dan sosial atas otoritas yang dimilikinya[10].
Tanpa legitimasi, seorang pemimpin akan menghadapi hambatan dalam mengelola sumber daya, memperoleh dukungan kekuasaan, mengakses sumber-sumber strategis, serta mempertahankan loyalitas dari lingkungan sekitarnya.
Legitimasi tidak cukup dinisbahkan kepada yang terpilih hanya dengan melalui pemilu, tetapi dapat dipengaruhi oleh banyak aspek.
Strategi komunikasi[11] yang dimiliki oleh pemimpin, misalnya, memengaruhi legitimasi yang dimilikinya. Narasi dan kecakapan storytelling pemimpin tersebut akan menjadi jalan untuk para pengikut memberikan penilaian terhadap pemimpinnya.
Legitimasi seorang pemimpin juga dipengaruhi oleh persepsi akan kompetensi pemimpin dan kehangatan[12] yang dapat ditawarkannya.
Legitimasi kepemimpinan merupakan hasil dari beragam konstruksi, yang terutama dibentuk oleh dinamika dalam kelompok. Meski pemimpin telah dipilih atau pun ditunjuk, ia tidak akan serta merta mendapatkan legitimasi[14], melainkan harus selalu menunjukkan kualitas dirinya dalam memimpin dan menegakkan keadilan prosedural (procedural justice).
Keadilan prosedural sendiri merujuk pada persepsi tentang kewajaran prosedur yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan serta bagaimana individu diperlakukan oleh pengambil keputusan.
Aksi kolektif
Salah satu faktor yang melatarbelakangi munculnya aksi protes adalah pengalaman individu terhadap ketidakadilan[15] (injustice). Jika masyarakat merasa kebijakan itu tidak adil atau mereka diperlakukan semena-mena, muncul ketidakpuasan.
Aksi demonstrasi ribuan massa[16] di depan kantor Bupati Pati yang pada akhirnya berujung ricuh, misalnya, dapat dipahami dalam kerangka teori aksi kolektif untuk memperjuangkan kondisi yang lebih adil bagi kelompok mereka.[17].
Pemicunya adalah ketidakadilan yang dirasakan dari kenaikan PBB[18] hingga 250%. Prosedur penetapan, pelaksanaan, dan penegakan pajak dianggap transparan, konsisten, dan partisipatif oleh masyarakat.
Read more: Demonstrasi besar-besaran di Indonesia: pentingnya menanggapi tuntutan rakyat[19]
Fenomena ini sejalan dengan berbagai gelombang protes lain di Indonesia, seperti demo #bubarkanDPR dan kritik terhadap kepolisian.
Maka dari itu, pertimbangan mengenai keadilan prosedural[21] sangat penting dalam membentuk motivasi individu untuk bekerja sama dengan otoritas.
Dalam konteks ini, aksi demonstrasi yang terjadi tidak semata-mata dapat dipahami sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan tertentu, melainkan juga sebagai ekspresi kolektif atas pengalaman ketidakadilan yang dirasakan masyarakat.
Demokrasi bukan hanya soal pemilu
Demokrasi sebenarnya masih menjadi sistem pemerintahan yang paling ideal[22]. Salah satu alasannya adalah karena demokrasi menjamin kebebasan memilih dan kebebasan berekspresi bagi warganya.
Read more: Masihkah pemilu menjadi tonggak demokrasi? Kuncinya ada di tangan pemilih yang kritis[23]
Namun demikian, perkembangan demokrasi tidak selalu bergerak secara linear menuju bentuk pure democracy country. Sebaliknya, proses tersebut kerap melibatkan dinamika naik-turun yang mencerminkan kemajuan sekaligus kemunduran.
Gelombang protes beberapa hari terakhir mencerminkan betapa mekanisme demokrasi tidak cukup hanya dengan pemilu sebagai prosedur formal. Esensinya juga ada pada kemampuan rakyat menuntut pertanggungjawaban penguasa dan mengoreksi kekuasaan.
Dengan kata lain, persoalan legitimasi elite politik tersebut memperlihatkan bahwa demokrasi di Indonesia tengah diuji: apakah ia benar-benar memberi ruang bagi koreksi rakyat, atau hanya berhenti sebagai ritual elektoral.
References
- ^ memicu protes (bekasi.inews.id)
- ^ Pengesahan UU Cipta Kerja (news.detik.com)
- ^ muncul tuntutan pelengseran (www.bbc.com)
- ^ dipilih rakyat secara konstitusional dan secara demokratis (www.bbc.com)
- ^ Kebijakan menaikkan pajak (suaraindonesia.co.id)
- ^ Algi Febri Sugita/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ Dalam banyak literatur akademik (psycnet.apa.org)
- ^ Penelitian (onlinelibrary.wiley.com)
- ^ Politik itu penuh negosiasi, tetapi etika dan legitimasi harga mati (theconversation.com)
- ^ landasan moral, hukum, dan sosial atas otoritas yang dimilikinya (psycnet.apa.org)
- ^ Strategi komunikasi (www.routledge.com)
- ^ persepsi akan kompetensi pemimpin dan kehangatan (journals.sagepub.com)
- ^ Endah Kurnia Wirawati/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ tidak akan serta merta mendapatkan legitimasi (onlinelibrary.wiley.com)
- ^ pengalaman individu terhadap ketidakadilan (psycnet.apa.org)
- ^ Aksi demonstrasi ribuan massa (www.bbc.com)
- ^ untuk memperjuangkan kondisi yang lebih adil bagi kelompok mereka. (mail.online-journal.unja.ac.id)
- ^ kenaikan PBB (www.cnnindonesia.com)
- ^ Demonstrasi besar-besaran di Indonesia: pentingnya menanggapi tuntutan rakyat (theconversation.com)
- ^ Endah Kurnia Wirawati/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ pertimbangan mengenai keadilan prosedural (psycnet.apa.org)
- ^ sistem pemerintahan yang paling ideal (www.amazon.com)
- ^ Masihkah pemilu menjadi tonggak demokrasi? Kuncinya ada di tangan pemilih yang kritis (theconversation.com)
Authors: Akhmad Saputra syarif, Peneliti di Laboratorium Psikologi Politik, Universitas Indonesia