AI meningkatkan ekonomi, tapi mengalir ke manakah hasilnya yang berlebih itu?
- Written by Ben Spies-Butcher, Associate professor, Macquarie University

Di era teknologi saat ini tengah terjadi perdebatan panjang tentang bagaimana kecerdasan buatan (AI) akan mengubah masa depan.
Para ‘teknologi’-krat yang percaya teknologi akan meningkatkan taraf hidup kita dan masa depan yang berlimpah materi[1].
Cita-cita tersebut tampaknya masih jauh untuk terealisasi. Namun bila bisa terwujud, apakah AI bisa menyelesaikan masalah-masalah rumit terkait penggunaan kelimpahan tersebut?
Kami mencoba membuktikan hipotesis ini pada sektor pangan berskala kecil di Australia. Menurut pemerintah, masyarakat secara kolektif membuang sekitar 7,6 juta ton[2] makanan per tahun, atau sekitar 312 kilogram per orang.
Namun, di saat bersamaan, 1 dari 8 warga Australia[3] berstatus rawan pangan. Sebagian besar karena mereka tidak memiliki cukup uang untuk membeli makanan yang mereka butuhkan.
Bagaimana kemampuan kita untuk mendistribusikan secara adil kelimpahan yang dijanjikan dari revolusi AI ini?
AI bisa merombak model ekonomi eksisting
Seperti yang diutarakan ekonom Lionel Robbins[4] ketika ia membangun fondasi ekonomi pasar modern, ekonomi adalah studi tentang hubungan kegunaan alternatif antara permintaan (apa yang kita inginkan) dan kelangkaan (apa yang kita miliki).
Pasar bekerja dengan menjatah sumber daya yang langka untuk memenuhi keinginan yang tak terbatas[5].
Kelangkaan memengaruhi harga–harga yang bersedia dibayar orang untuk barang dan jasa. Dan kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan hidup mengharuskan (sebagian besar) kita bekerja untuk menghasilkan uang dan memproduksi lebih banyak barang dan jasa.
AI digadang[6] bisa menghadirkan kelimpahan dan memecahkan masalah medis, teknik, dan sosial yang rumit bertentangan dengan logika pasar ini.
Janji manis tersebut beriringan dengan kekhawatiran[7] teknologi akan membuat jutaan pekerja kehilangan pekerjaan. Tanpa pekerjaan berbayar, bagaimana orang bisa mendapatkan uang atau pasar bisa berfungsi?
Antara keinginan dan kebutuhan
Namun, bukan hanya teknologi yang menyebabkan pengangguran. Ciri unik ekonomi pasar lainnya adalah kemampuannya untuk menciptakan kemiskinan massal, melalui pengangguran atau upah rendah, bahkan di tengah kemakmuran.
Seperti yang diungkapkan ekonom John Maynard Keynes[8], naik turunnya perekonomian merupakan akibat dari sistem pasar itu sendiri.
Pengalaman kemerosotan ekonomi yang terbaru bukan disebabkan oleh kegagalan pasar. Kemerosotan tersebut bermula dari krisis kesehatan masyarakat akibat pandemi. Namun, hal itu tetap mengungkap solusi potensial untuk tantangan ekonomi berupa kelimpahan yang didorong oleh teknologi.
Perubahan pada tunjangan pemerintah–untuk meningkatkan pembayaran, menghapus tes aktivitas, dan mempermudah pengujian sarana–secara drastis mengurangi kemiskinan dan kerawanan pangan[9], bahkan ketika kapasitas produksi ekonomi menurun.
Kebijakan serupa diberlakukan secara global[10], melalui bantuan tunai yang dijalankan di lebih dari 200 negara.
Pandemi memperkuat seruan[11] untuk menggabungkan kemajuan teknologi dengan “pendapatan dasar universal (universal basic income)”.
Ini adalah fokus penelitian Australian Basic Income Lab[12], sebuah kolaborasi antara Macquarie University, University of Sydney, dan Australian National University.
Jika setiap orang mendapat jaminan pendapatan yang cukup tinggi untuk memenuhi kebutuhan, maka ekonomi pasar mungkin mampu mengelola transisi, dan janji teknologi mungkin dapat dinikmati secara luas.
Kesejahteraan atau hak pembagian?
Ketika kita berbicara tentang pendapatan dasar universal, kita harus memahami dengan jelas apa yang kita maksud. Beberapa versi gagasan tersebut masih berisiko menciptakan ketimpangan kekayaan yang sangat besar.
Rekan saya di Australian Basic Income Lab, Elise Klein, bersama Profesor Stanford James Ferguson, telah menyerukan pendapatan dasar universal yang dirancang bukan sebagai kesejahteraan, tetapi sebagai “bagian yang sah”.
Mereka berpendapat[14] kekayaan yang diciptakan melalui kemajuan teknologi dan kerja sama sosial adalah hasil karya kolektif umat manusia.
Oleh karena itu, kekayaan harus dinikmati secara setara oleh semua orang sebagai bagian dari hak dasar. Ini mirip dengan anggapan kita bahwa sumber daya alam suatu negara adalah milik bersama rakyatnya.
Perdebatan seputar pendapatan dasar universal ini jauh lebih tua daripada pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh AI saat ini.
Hal ini mengingatkan pada era Inggris awal abad ke-20[15], ketika industrialisasi dan otomatisasi mendorong pertumbuhan tanpa menghapus kemiskinan, malah mengancam lapangan kerja.
Kaum Luddite[16] berusaha menghancurkan mesin-mesin baru yang digunakan untuk menekan upah.
Persaingan pasar mungkin memicu inovasi, tetapi juga berisiko menyebabkan ketidaksetaraan perkembangan teknologi.
Pelayanan dasar universal
Alih-alih menolak AI, solusi lain adalah mengubah sistem sosial dan ekonomi terkait pembagian porsi keuntungannya.
Penulis Inggris Aaron Bastani menawarkan visi radikal tentang “komunisme mewah yang sepenuhnya otomatis[17]”.
Solusi pilihan[18] Bastani bukanlah pendapatan dasar universal. Sebaliknya, ia mendukung layanan dasar universal.
Daripada memberi orang uang untuk membeli kebutuhan, mengapa kita tidak menyediakan kebutuhan pokok secara langsung–seperti kesehatan gratis, perawatan, transportasi, pendidikan, energi, dan sebagainya?
Tentu saja, ini berarti mengubah cara penerapan AI dan teknologi lainnya–mensosialisasikan penggunaannya secara efektif untuk memastikan mereka memenuhi kebutuhan bersama.
Tidak menjamin utopia
Usulan untuk pendapatan atau layanan dasar universal menyoroti bahwa, bahkan pada pembacaan optimis, AI sendiri tidak mungkin mewujudkan utopia.
Sebaliknya, seperti yang diuraikan Peter Frase[20], kombinasi kemajuan teknologi dan keruntuhan ekologi dapat menciptakan masa depan yang sangat berbeda. Tidak hanya dalam seberapa banyak tingkat produksi, tetapi juga dalam penentuan siapa yang mendapatkan apa dan dengan ketentuan apa secara politis.
Kekuatan besar perusahaan teknologi yang dijalankan oleh miliarder mungkin menunjukkan sesuatu yang lebih dekat dengan apa yang disebut oleh mantan menteri keuangan Yunani Yanis Varoufakis sebagai “teknofeodalisme[21]”-kendali atas teknologi dan platform daring menggantikan pasar dan demokrasi dengan otoritarianisme baru.
Menunggu “nirwana” teknologi justru mengabaikan kemungkinan nyata yang ada saat ini. Kita sudah punya cukup makanan untuk semua orang. Kita sudah tahu cara mengakhiri kemiskinan. Kita tidak butuh AI untuk memberi tahu kita.
References
- ^ masa depan yang berlimpah materi (theconversation.com)
- ^ 7,6 juta ton (www.dcceew.gov.au)
- ^ 1 dari 8 warga Australia (theconversation.com)
- ^ Lionel Robbins (www.socialscience.international)
- ^ keinginan yang tak terbatas (www.sparkl.me)
- ^ AI digadang (theconversation.com)
- ^ kekhawatiran (theconversation.com)
- ^ John Maynard Keynes (www.imf.org)
- ^ secara drastis mengurangi kemiskinan dan kerawanan pangan (povertyandinequality.acoss.org.au)
- ^ secara global (documents1.worldbank.org)
- ^ memperkuat seruan (au.rollingstone.com)
- ^ Australian Basic Income Lab (www.ausbasicincome.org)
- ^ Jools Magools/Pexels (www.pexels.com)
- ^ berpendapat (www.abc.net.au)
- ^ Inggris awal abad ke-20 (link.springer.com)
- ^ Kaum Luddite (www.nationalarchives.gov.uk)
- ^ komunisme mewah yang sepenuhnya otomatis (books.google.com.au)
- ^ Solusi pilihan (www.newstatesman.com)
- ^ Ersin Baştürk/Pexels (www.pexels.com)
- ^ Peter Frase (jacobin.com)
- ^ teknofeodalisme (australiainstitute.org.au)
Authors: Ben Spies-Butcher, Associate professor, Macquarie University