Menuju satu tahun Prabowo: Rezim minim data dan pengetahuan
- Written by Amanda Tan, Kandidat Doktoral Kebijakan Publik, Monash University

● Pemerintahan Prabowo kerap menerbitkan kebijakan tanpa berdasarkan data dan bukti empiris.
● Tanpa dukungan data dan bukti, suatu kebijakan akan menjadi sangat tidak etis.
● Pemerintah harus memberikan data sahih sebagai tanggung jawab terhadap rakyat.
Protes massa besar-besaran yang berlangsung di sejumlah kota besar di Indonesia pada akhir Agustus hingga awal September 2025[1] terjadi akibat ketidakpuasan rakyat atas kebijakan pemerintahan Prabowo yang justru membuat ekonomi masyarakat semakin terpuruk.
Lahirnya kebijakan yang tidak tepat sasaran atau tidak menjawab kebutuhan masyarakat umumnya bermula dari kesalahan perhitungan data dan informasi oleh negara, menciptakan berbagai kebijakan yang viral dahulu lalu dihapus[2], termasuk salah hitung tunjangan DPR oleh pejabat pemerintah[3].
Jika setingkat Wakil Ketua DPR, Adies Kadir—yang kini sudah dicopot dari jabatannya—saja bisa melontarkan pernyataan tanpa dasar dan salah[4] soal besaran tunjangan anggota dewan, bisa dibayangkan betapa semrawutnya pengetahuan dan data internal pemerintah.
Buktinya adalah keyakinan Prabowo bahwa aksi demonstrasi rakyat adalah tindakan huru-hara, serta pengabaiannya terhadap laporan-laporan kelompok masyarakat sipil[5] perihal program Makan Bergizi Gratis (MBG)—mulai dari data ketidakcukupan kalori, kasus keracunan yang menelan 8 ribuan korban[6], hingga adanya menu ultra-processed food[7] yang jelas tidak mencerminkan istilah “bergizi”.
Dalam komunikasi politik dan kebijakan publik, informasi terkait kebijakan harus didukung data dan bukti[8] yang solid berlandaskan ilmu pengetahuan dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya (legitimate).
Dengan berpegangan pada data empiris, pengambil kebijakan akan mampu membuat ‘informed decision. Artinya, keputusan pemerintah harus berdasarkan dengan informasi yang sesuai dengan kebutuhan warga dan realita yang terjadi di lapangan.
Tanpa dukungan data, bukti, dan pengetahuan ilmiah, suatu kebijakan akan menjadi sangat tidak etis[9].
Absennya data dalam pemerintahan Prabowo
Selayaknya kebijakan dengan data yang salah, sebagian besar komunikasi Prabowo yang dilakukan selama ini tanpa data dan bukti yang kuat yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Contohnya, pernyataan Prabowo tentang keberhasilan program MBG belum dibuktikan dengan data[10] dan testimoni langsung yang menggambarkan adanya perbaikan gizi di masyarakat.
Tidak adanya data dan bukti untuk mendukung informasi dan pesan komunikasi ke publik tidak hanya menyebabkan turunnya kepercayaan dan legitimasi, tapi dapat berujung pada kebijakan yang bersifat tidak etis[12].
Ini seperti yang terjadi pada kasus Robodebt[13] di Australia (skema menagih kembali uang penerima manfaat yang dibayarkan berlebih). Ketika tidak dilengkapi data, kebijakan justru menjadi salah sasaran dan membuat orang lain terlilit utang.
Tidak hanya di Australia, di Indonesia hal ini nyata pada kasus keracunan pada MBG. Sebagai contoh, Badan Gizi Nasional (BGN) tidak berfokus pada studi mendalam soal pemenunuhan gizi nasional[14], tapi hanya pada bagaimana program ini bisa terimplementasi dengan cepat.
Konsekuensinya, pemberian MBG justru terus menuai masalah. Berbagai kasus keracunan MGB bermunculan di berbagai daerah.
Namun, lagi-lagi pemerintah mengklaim bahwa angka kasus keracunan MBG lebih kecil dari angka manfaat program tersebut. Pemerintah seakan tidak mengindahkan kasus keracunan[15] sebagai bukti empiris untuk perbaikan kebijakan.
Rakyat meminta pemerintah untuk menghentikan program MBG[16], tapi tidak kunjung dilakukan.
Bahkan ada sekolah[17] yang meminta orang tua agar tidak menuntut sekolah, jika anaknya keracunan makanan akibat MBG.
Walau surat edaran tersebut telah dicabut oleh pihak sekolah, ini menunjukkan bahwa keracunan adalah hal yang sering terjadi.
Komunikasi politik butuh akurasi
Dalam konteks negara genting, seperti saat terjadi demo besar, peran komunikasi politik dan pengambil kebijakan dalam meredam amarah rakyat dan merespons tuntutan publik sangat signifikan.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Pidato Prabowo pada 31 Agustus 2025[19] justru mengkriminalisasi aksi rakyat.
Tanpa data yang relevan dan transparan, isi pidato menyebut gelombang aksi massa sebagai “makar”, “terorisme”, “anarkis” dan “melawan hukum”[20]. Framing pernyataan tersebut tidak didukung oleh bukti empirik, data yang akurat dan transparan.
Prabowo seakan mencap rakyatnya sebagai pengganggu keamanan negara[21].
Poin penting dari tuntutan rakyat terkait reformasi kebijakan—termasuk gaji dan tunjangan anggota DPR—justru tidak direspons dengan baik.
Padahal, inti dari tuntutan reformasi kebijakan juga menyoroti minimnya data dan bukti di lapangan sebagai pendukung kebijakan. Ini yang luput dari perhatian pemerintah.
Terkait dengan terorisme dan aksi ditunggangi pihak asing[22], seperti yang dikatakan oleh Hendropriyono maupun Prabowo, rakyat juga meminta agar data tersebut dibuka dan disiarkan ke publik. Sayangnya, pemerintah tidak bisa membuktikannya.
Data dan bukti yang sahih: Kunci kebijakan efektif
Transparansi menjadi kunci komunikasi politik yang efektif[23]. Apalagi saat pemerintah harus merespons situasi genting yang melibatkan kepentingan rakyat secara luas.
Respons Prabowo terhadap tuntutan rakyat yang dibuat tanpa data empiris yang kuat dan transparan berdampak pada semakin jatuhnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.
Tuntutan meminta transparansi anggaran[25] (gaji, anggaran DPR) dan juga dialog dengan warga terdampak merupakan alat untuk memastikan pemerintah memberikan bukti pendukung dan data akurat pada pembentukan kebijakan selanjutnya.
Tuntutan rakyat saat ini adalah transparansi dalam melahirkan kebijakan yang memihak rakyat. Untuk mencapai tujuan ini, data yang sahih atau valid, terpercaya, dan dapat diandalkan—bukan berdasarkan asumsi semata—menjadi penting.
Data harus muncul sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dalam memberikan jaminan pemenuhan hak-hak rakyat.
Melalui pidato maupun pernyataan pers, pemerintah harus memberikan data dan bukti yang sesuai dengan konteks kebijakan—sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh rakyat, negara dan pemerintahan.
References
- ^ akhir Agustus hingga awal September 2025 (www.cnbcindonesia.com)
- ^ menciptakan berbagai kebijakan yang viral dahulu lalu dihapus (www.bbc.com)
- ^ termasuk salah hitung tunjangan DPR oleh pejabat pemerintah (aksinews.com)
- ^ pernyataan tanpa dasar dan salah (www.tempo.co)
- ^ laporan-laporan kelompok masyarakat sipil (cisdi.org)
- ^ 8 ribuan korban (www.cnnindonesia.com)
- ^ menu ultra-processed food (www.metrotvnews.com)
- ^ harus didukung data dan bukti (pshk.or.id)
- ^ sangat tidak etis (www.tandfonline.com)
- ^ dibuktikan dengan data (www.cnbcindonesia.com)
- ^ Wulandari Wulandari/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ tapi dapat berujung pada kebijakan yang bersifat tidak etis (www.tandfonline.com)
- ^ Robodebt (theconversation.com)
- ^ tidak berfokus pada studi mendalam soal pemenunuhan gizi nasional (wahanavisi.org)
- ^ kasus keracunan (www.bbc.com)
- ^ menghentikan program MBG (antikorupsi.org)
- ^ Bahkan ada sekolah (www.kompas.id)
- ^ image meaning/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ Pidato Prabowo pada 31 Agustus 2025 (www.youtube.com)
- ^ “makar”, “terorisme”, “anarkis” dan “melawan hukum” (tirto.id)
- ^ pengganggu keamanan negara (kbr.id)
- ^ pihak asing (www.beritasatu.com)
- ^ kunci komunikasi politik yang efektif (www.tandfonline.com)
- ^ Ynwrahman Picture (www.shutterstock.com)
- ^ Tuntutan meminta transparansi anggaran (news.detik.com)
Authors: Amanda Tan, Kandidat Doktoral Kebijakan Publik, Monash University
Read more https://theconversation.com/menuju-satu-tahun-prabowo-rezim-minim-data-dan-pengetahuan-265486