Negara barat mulai akui kedaulatan Palestina: Apakah “Two-State Solution” adalah bentuk terbaik?
- Written by Muammar Syarif, Multiplatform Manager, The Conversation

Sidang Majelis Umum Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) tahun ini menjadi sebuah “babak baru” dalam penyelesaian masalah antara Palestina dan Israel.
Seruan untuk pengakuan Palestina sebagai negara berdaulat sekaligus komitmen pada solusi dua negara (two-state solution) menggema di ruang sidang.
Sorotan publik tertuju pada pernyataan Presiden Prancis, Emmanuel Macron, yang dengan lantang mengumumkan pengakuan resmi negaranya terhadap Palestina. Keputusan ini disampaikan bersamaan dengan Arab Saudi, dan sontak disambut tepuk tangan panjang para delegasi.
Langkah tersebut menandai pergeseran diplomatik signifikan yang terjadi hampir dua tahun setelah konflik berdarah di Gaza dan mengubah persepsi global mengenai urgensi penyelesaian damai.
Meskipun ditentang keras oleh Israel dan sekutunya, pengakuan ini dinilai memberi angin segar bagi perjuangan Palestina di kancah internasional.
Lantas, apakah two-state solution masih menjadi solusi yang terbaik untuk menyudahi pendudukan yang dilakukan Israel terhadap Palestina sejak lama?
Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas isu ini bersama Ayu Anastasya Rachman, akademisi dari program hubungan internasional, Universitas Bina Mandiri, Gorontalo.
Ayu melihat banyaknya pengakuan dari negara-negara barat ini merupakan langkah penting untuk kedaulatan palestina dan penyelesaian agresi Israel yang sudah sejak lama terjadi. Namun, pengakuan formal ini tidak serta-merta mengubah realitas di lapangan.
Pendudukan yang berlanjut, diskriminasi sistematis, dan blokade wilayah tetap menjadi hambatan serius bagi kehidupan sehari-hari warga Palestina.
Dengan kata lain, kedaulatan di atas kertas belum berarti kemerdekaan penuh.
Ayu juga mempertanyakan apakah two-state solution masih menjadi solusi yang bisa diterapkan dengan cepat.
Menurutnya, terlalu banyak tantangan yang harus diselesaikan sebelum memikirkan solusi ini, seperti pembagian wilayah, status Yerusalem, serta keberadaan pemukiman Israel yang terus meluas. Kompleksitas politik internal kedua belah pihak juga memperkeruh situasi.
Di Palestina, stagnasi politik akibat absennya pemilihan umum menimbulkan pertanyaan tentang legitimasi kepemimpinan. Sementara di Israel, dinamika politik dalam negeri sering kali menutup ruang kompromi.
Ayu menekankan bahwa mendefinisikan kembali batas-batas dan kontrol teritorial menjadi prasyarat mutlak, meski prosesnya berpotensi penuh gesekan.
Ayu juga menegaskan bahwa masalah kepercayaan, integrasi sosial, serta distribusi kekuasaan membuat opsi ini sulit terwujud tanpa reformasi besar-besaran, baik di tingkat kepemimpinan maupun dalam dukungan internasional.
Ia menegaskan ada prasyarat penting yang harus diperjuangkan seperti gencatan senjata permanen, penghentian kekerasan, serta komitmen nyata dari kedua belah pihak dengan dukungan mediasi internasional.
Tanpa itu, pengakuan kedaulatan Palestina akan tetap sebatas simbol diplomatik, jauh dari cita-cita kemerdekaan yang utuh.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia__—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi. Kamu bisa mendengarkan episode SuarAkademia lainnya yang terbit setiap pekan di Spotify, Youtube Music dan Apple Podcast.
Authors: Muammar Syarif, Multiplatform Manager, The Conversation