Asian Spectator

Men's Weekly

.

Nadiem dalam pusaran korupsi: Digitalisasi tanpa transparansi hanya omong kosong

  • Written by Budi Kristanto, Dosen, Universitas Lambung Mangkurat
Nadiem dalam pusaran korupsi: Digitalisasi tanpa transparansi hanya omong kosong

● Tokoh inovator digital Nadiem Makarim pun tak lepas dari jerat korupsi.

● Program terobosan digital, dihadapkan dengen birokrasi kaku, akan jadi produk gagal.

● Korupsi dalam proyek digital menghancurkan gagasan modernisasi itu sendiri.

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim menjalani sidang perdana gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada Jumat, 3 Oktober 2025.

Ia menyandang status tersangka kasus korupsi Program Digitalisasi Pendidikan periode 2019-2022.

Penangkapan salah satu pendiri dari Gojek—salah satu perusahaan teknologi terbesar di Indonesia—telah mengguncang opini publik.

Sosok Nadiem sebelumnya kerap digadang bisa mereformasi birokrasi Tanah Air[1]. Dia dielu-elukan sebagai figur segar yang datang dari luar sistem. Gaya wirausahanya yang berorientasi solusi memberi harapan bahwa dunia pendidikan Indonesia akan dipacu lebih cepat menuju modernisasi.

Programnya terkait distribusi jutaan Chromebook senilai hampir US$120 juta (sekitar Rp1,9 triliun), yang semula digembar-gemborkan sebagai langkah untuk memperkecil kesenjangan digital, justru berubah menjadi skandal yang memperlihatkan rapuhnya tata kelola negara.

Di Indonesia, bahkan tokoh reformis sekalipun tidak kebal terhadap daya hisap sistem yang sarat budaya dan praktik korupsi.

Inovasi yang terganjal korupsi

Skandal Chromebook mengingatkan kita pada satu hal: betapa rapuh dan berisikonya sistem pengadaan barang dan jasa di Indonesia.

Chromebook dianggap sebagai inovasi digitalisasi bidang pendidikan, namun penggunaannya akan sulit di daerah 3T.
Sejumlah siswa dan seorang guru di SDN 1 Simpang Tiga, Bener Meriah, Aceh, sedang mengoperasikan perangkat Chromebook pada 28 Mei 2025. Gayotech/Shutterstock[2]

Selama ini, proyek-proyek besar—baik infrastruktur maupun pendidikan—tidak jarang berakhir dengan anggaran membengkak[3]. Ini termasuk proses tender yang tidak ajeg sehingga membuka ruang kolusi[4] banyak pihak terafiliasi.

Program yang awalnya dirancang untuk menjadi terobosan digital justru tenggelam dalam pola klasik: biaya tinggi dan lemahnya pengawasan.

Fenomena ini mencerminkan apa yang sering disebut implementation gap—jurang antara rancangan kebijakan ambisius dan kemampuan institusi untuk melaksanakannya.

Secara konsep, distribusi jutaan Chromebook memang bisa menjadi revolusi ruang kelas. Namun, birokrasi yang kaku dan pengawasan yang minim membuatnya berujung menjadi proyek gagal.

Bahkan seorang reformis seperti Nadiem tidak mampu keluar dari jerat rutinitas institusi yang mapan.

Menurut teori New Institutionalism[5], inovasi idealnya memang diinisiasi oleh pemimpin. Namun, niatan tersebut kerap terhalang oleh kebiasaan lama yang sudah mengakar di suatu institusi.

Alih-alih menantang sistem lama, program baru justru terseret ke dalam pusaran yang sama.

Pengalaman semacam ini bukan hanya terjadi di Indonesia.

India pernah meluncurkan program distribusi laptop[6] dalam jumlah besar. Namun, proyek itu dikritik karena biaya tinggi dengan dampak minim pada kualitas pendidikan. Di Brasil[7], upaya inklusi digital bahkan runtuh karena skandal korupsi.

Pola yang berulang di berbagai negara menunjukkan bahwa teknologi bukan jalan pintas untuk mengatasi masalah tata kelola. Inovasi justru sering menyingkap wajah politik yang sebenarnya: kepentingan, kompromi, dan praktik kotor yang tak kunjung hilang.

Digitalisasi tanpa transparansi

Kasus Chromebook memberi pelajaran besar bahwa membangun bangsa digital tidak cukup dengan membagikan gadget yang hanyalah alat.

Yang membuat teknologi bermakna adalah institusi yang kuat, transparansi dalam pengadaan, dan pengawasan yang independen. Tanpa itu, semangat digitalisasi cuma berakhir di kampanye saja.

Nadiem terjerat kasus korupsi pengadaan Chromebook dalam kapasitasnya sebagai Mendikbud.
Mantan Mendikbud sekaligus pendiri Gojek Nadiem Makarim saat memberikan pidato di Jakarta, 23 Oktober 2019. Arya Manggala/Shutterstock[8]

Bagi pembuat kebijakan, kejatuhan Nadiem menegaskan bahwa reformasi tidak boleh bertumpu pada figur. Sistemlah yang harus diperkuat agar tetap tegak meski pemimpin berganti.

Audit yang ketat, keterlibatan masyarakat sipil, dan akses publik terhadap proses pengadaan mutlak diperlukan. Tanpa fondasi itu, inovasi hanya menjadi ruang baru bagi praktik lama.

Bagi masyarakat, skandal ini menjadi pengingat bahwa ukuran kemajuan bukanlah berapa banyak gawai yang masuk ke ruang kelas, melainkan seberapa akuntabel proses di baliknya.

Laptop yang menumpuk tanpa digunakan hanyalah simbol kegagalan bila lahir dari sistem yang korup. Pada akhirnya, siswa—yang seharusnya menjadi penerima manfaat utama—justru menjadi korban dari kelemahan tata kelola.

Perangkat digital tanpa institusi bersih

Lebih jauh lagi, kasus ini juga membongkar mitos optimisme teknokratis—keyakinan bahwa teknologi mampu menyelesaikan masalah sosial-politik. Padahal, perangkat digital hanya akan efektif bila dijalankan oleh institusi yang bersih dan efisien. Tanpanya, mimpi digital hanya menjadi fatamorgana.

Dampaknya pun lebih luas: korupsi dalam proyek digital tidak hanya menghancurkan kepercayaan terhadap pemimpin, tetapi juga pada gagasan modernisasi itu sendiri.

Jika publik melihat inovasi hanya sebagai bungkus baru bagi praktik korupsi, maka skeptisisme terhadap reformasi akan semakin menguat.

Digitalisasi pendidikan melalui Chromebook sulit terwujud di tengah birokrasi yang kaku dan tidak transparan.
Penggunaan Chromebook untuk proses pembelajaran daring di Kecamatan Bawang, Jawa Tengah. Pramata/Shutterstock[9]

Dalam jangka panjang, hilangnya kepercayaan ini bisa melemahkan dukungan terhadap investasi penting di bidang pendidikan dan infrastruktur digital.

Kejatuhan Nadiem bukan sekadar drama personal, melainkan cermin rapuhnya tata kelola negara. Skandal ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah bahwa tak akan bisa menyiapkan generasi tangguh di panggung global jika fondasi institusinya keropos.

Reformis akan datang dan pergi, tetapi tanpa institusi yang sehat, mereka akan terus terjebak dalam lingkaran kekecewaan.

Tantangan kita bukan meninggalkan mimpi digital, melainkan menanamkannya pada sistem yang benar-benar kebal terhadap korupsi dan tekanan politik.

References

  1. ^ mereformasi birokrasi Tanah Air (www.researchgate.net)
  2. ^ Gayotech/Shutterstock (www.shutterstock.com)
  3. ^ anggaran membengkak (www.cnbcindonesia.com)
  4. ^ ruang kolusi (aclc.kpk.go.id)
  5. ^ teori New Institutionalism (www.researchgate.net)
  6. ^ program distribusi laptop (nationalgeographic.grid.id)
  7. ^ Di Brasil (www.scielo.br)
  8. ^ Arya Manggala/Shutterstock (www.shutterstock.com)
  9. ^ Pramata/Shutterstock (www.shutterstock.com)

Authors: Budi Kristanto, Dosen, Universitas Lambung Mangkurat

Read more https://theconversation.com/nadiem-dalam-pusaran-korupsi-digitalisasi-tanpa-transparansi-hanya-omong-kosong-266348

Magazine

Tradisi keagamaan dalam anime Jepang: Takdir, pengorbanan, dan dilema keinginan vs kewajiban

Kyojuro Rengoku, juga dikenal sebagai Flame Hashira, adalah karakter utama dalam seri 'Demon Slayer'.Deviant Art, CC BY-NDSalah satu aspek anime Jepang yang paling menarik adalah perpaduan aksi mendeb...

Nadiem dalam pusaran korupsi: Digitalisasi tanpa transparansi hanya omong kosong

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim saat memimpin rapat di kantornya di Jakarta pada 31 Oktober 2019.Kemarrravv13/Shutterstock● Tokoh inovator digital Nadiem Makarim pun tak ...

Negara barat mulai akui kedaulatan Palestina: Apakah “Two-State Solution” adalah bentuk terbaik?

CC BYSidang Majelis Umum Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) tahun ini menjadi sebuah “babak baru” dalam penyelesaian masalah antara Palestina dan Israel.Seruan untuk pengakuan Palestina sebagai...