Hadiah Nobel Kedokteran diberikan kepada penemu ‘penjaga keamanan’ sistem kekebalan tubuh kita
- Written by Tracy Hussell, Director of the Lydia Becker Institute of Immunology and Inflammation, University of Manchester

Penghargaan Nobel Fisiologi atau Kedokteran 2025 diberikan kepada tiga orang ilmuwan yang berhasil menemukan cara tubuh menghentikan sistem kekebalan agar tidak menyerang dirinya sendiri (autoimun).
Ketiganya adalah Shimon Sakaguchi dari Osaka University di Jepang, Mary E. Brunkow dari Institute for System Biology di Amerika Serikat (AS), serta Fred Ramsdell dari Sonoma Biotherapeutics di AS. Mereka menemukan sel-sel “penjaga keamanan” khusus yang bertugas memastikan sistem kekebalan tubuh kita agar tetap terkendali.
Penemuan ini[1] sangat penting untuk memahami cara mengobati dan mencegah kondisi autoimun.
Para peraih Nobel ini akan berbagi hadiah sebesar 11 juta Kronor Swedia (£870 ribu atau Rp16,8 miliar).
Sistem kekebalan (imun) yang efektif sangatlah penting. Ia berperan membentuk jaringan tubuh seiring pertumbuhannya, serta membersihkan sel-sel tua maupun sel sisa yang sudah mati (debris).
Selain itu, sistem imun juga bertugas membasmi virus, bakteri, dan jamur berbahaya, agar kita bisa tetap sehat.
Meski begitu, tantangan yang dihadapi sistem kekebalan tubuh sangatlah berat.
Setiap hari, sistem imun harus melawan ribuan mikroba penyerang yang berbeda. Banyak di antaranya telah berevolusi hingga tampak sangat mirip dengan sel-sel kita. Karena itu, sistem imun harus sangat hati-hati agar tidak salah mengira jaringan tubuh kita sebagai musuh dan menyerangnya.
Lalu, bagaimana sistem imun bisa mengetahui mana sel yang harus diserang dan tidak?
Para ahli imunologi telah mempelajari hal ini selama beberapa dekade. Namun, riset inovatif ketiga peraih Nobel inilah yang berhasil menemukan sel imun khusus bernama sel T regulator.
Sel T regulator bertugas mencegah sel imun menyerang tubuh kita sendiri, serta menjaga sistem imun tetap berfungsi sebagaimana mestinya.
Selama bertahun-tahun, para ahli imunologi terus menyelidiki penyebab mengapa beberapa sel imun bisa berfungsi dengan seimbang, dan mengapa sebagian lainnya bisa menjadi liar dan menyerang jaringan tubuh sendiri, hingga mengakibatkan kondisi autoimun (seperti diabetes tipe 1, artritis reumatoid, dan sklerosis multipel).
Selama ini, para ilmuwan meyakini bahwa timus (kelenjar kecil di dada) sebagai satu-satunya organ yang bertanggung jawab atas toleransi imun (kondisi sistem kekebalan berfungsi normal, tidak bereaksi berlebihan terhadap zat asing dari luar maupun sel tubuh sendiri).
Ada anggapan bahwa timus, sejak awal kehidupan kita telah mengeliminasi sel-sel imun (khususnya limfosit T) yang punya kecenderungan kuat akan menyerang protein tubuh sendiri. Sel-sel imun dengan reaktivitas ringan dibiarkan hidup, lalu dilepaskan ke dalam aliran darah untuk berpatroli di dalam tubuh.
Namun, penelitian yang dilakukan pada tahun 1980-an dan 1990-an oleh Sakaguchi menunjukkan bahwa kemampuan tubuh dalam menekan respons imun dan mencegah sistem kekebalan menyerang jaringan tubuh sendiri berasal dari peran sel T imun dengan kelas khusus.
Dalam eksperimen pertamanya, Sakaguchi mengangkat organ timus dari beberapa tikus yang baru lahir. Lalu, dia menyuntikkan sel T (dari tikus yang secara genetik serupa) ke dalam tikus uji tersebut.
Karena timusnya diangkat, Sakaguchi menduga bahwa tikus-tikus tersebut akan memiliki sistem kekebalan lebih lemah, serta menghasilkan lebih sedikit sel T. Namun sebaliknya, dia menemukan keberadaan sel T yang diduga melindungi tikus dari perkembangan penyakit autoimun.
Dekade berikutnya, Sakaguchi berupaya mengungkap apakah ada berbagai jenis sel T yang berperan berbeda dalam respons imun.
Pada 1995, Sakaguchi menerbitkan makalah yang merinci kelas baru sel T[2], yang dia sebut sebagai “sel T regulator”. Makalah tersebut menunjukkan bahwa sel T—yang membawa jenis protein spesifik di permukaannya—justru melenyapkan sel T yang berbahaya.
Awalnya, para ilmuwan skeptis mengenai keberadaan sel T regulator ini. Namun, penelitian Brunkow dan Ramsdell yang diterbitkan pada tahun 1990-an dan awal 2000-an, berhasil menunjukkan cara kerja sel T regulator.
Penelitian Brunkow dan Ramsdell menunjukkan bahwa sel T regulator[3] mencegah sel imun menyerang tubuh dengan mengeluarkan protein peredam imun atau dengan langsung memberikan sinyal antiperadangan.
Mereka juga menemukan protein khusus[4] bernama FoxP3 yang bisa digunakan untuk mengenali sel-sel T regulator. Protein ini membantu para ilmuwan untuk mengetahui kapan sebuah sel berperan sebagai pengatur sistem imun. Mereka kemudian memisahkan protein ini untuk diteliti lebih lanjut.
Penemuan ketiga ilmuwan ini menunjukkan bahwa sel T regulator (disebut pula sebagai T-reg) berperan penting dalam mengendalikan sel-sel imun agar tidak menimbulkan peradangan berlebihan dalam tubuh.
Penelitian mereka juga membuka wawasan baru di dunia imunologi. Ini bukan cuma soal memahami cara tubuh menoleransi zat asing, tetapi juga bagaimana sistem imun aktif mengatur keseimbangan antara melawan penyakit dan mencegah kerusakan tubuh sendiri.
Penemuan mereka menginspirasi banyak penelitian baru mengenai penyakit peradangan, baik yang disebabkan oleh infeksi, alergen, polutan lingkungan, maupun autoimunitas.
Dari studi mereka pula, berbagai ide riset baru lahir untuk memahami cara mencegah kasus penolakan transplantasi (jaringan tubuh yang ditransplantasi ditolak oleh sistem imun penerima), serta memperkuat respons imun kita terhadap pengobatan kanker dan vaksin.
References
- ^ Penemuan ini (www.nobelprize.org)
- ^ kelas baru sel T (pubmed.ncbi.nlm.nih.gov)
- ^ sel T regulator (doi.org)
- ^ protein khusus (doi.org)
Authors: Tracy Hussell, Director of the Lydia Becker Institute of Immunology and Inflammation, University of Manchester