Asian Spectator

Men's Weekly

.

Tragedi Ponpes Al Khoziny: Kegagalan struktur atau kekerasan struktural?

  • Written by Feysa Poetry, PhD Candidate in Architectural Practice, UCL
Tragedi Ponpes Al Khoziny: Kegagalan struktur atau kekerasan struktural?

● Tragedi Al Khoziny mencerminkan puncak kelalaian pembangunan infrastruktur di Indonesia.

● Perizinan pembangunan gedung seringkali melanggar aturan administrasi.

● Kelalaian seringkali ditutupi dengan romantisasi agama.

Tragedi Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur, sepekan lalu bukan semata-mata kesalahan teknis, melainkan puncak dari berlapis-lapis kelalaian praktik pembangunan infrastruktur di Indonesia yang terlalu sering dinormalisasi. Dalam tragedi ini, bangunan pesantren ambruk hingga menewaskan 67 orang[1].

Kelalaian ini bisa masuk kategori kekerasan struktural[2], yakni kejahatan yang tidak dihasilkan oleh kekuatan, tetapi oleh struktur sosial yang menangkal masyarakat untuk mendapatkan kebutuhan dasarnya.

Dalam tragedi Al-Khoziny, kebutuhan dasar tersebut adalah sistem perizinan pembangunan, sistem pengawasan yang dijalankan, serta sistem perlindungan pekerja konstruksi.

Absennya kebutuhan dasar tersebut bisa menyebabkan, atau menghasilkan, kecurangan-kecurangan “kecil”, seperti mengakali Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) hingga eksploitasi pekerja bangunan menciptakan sebuah keadaan yang memungkinkan kehancuran level ini terjadi.

Abai regulasi

Perizinan dan pengawasan bangunan keagamaan seperti masjid dan pesantren sering kali longgar. Menurut Menteri Pekerjaan Umum Dody Hanggono, hanya 52 dari 41.000 pesantren[3] yang mengantongi PBG.

Data ini mengejutkan. Seluruh lapisan yang terlibat dalam rancang-bangun gedung tanpa PBG semestinya dikenakan sanksi administratif sekaligus pidana[4]. Apalagi bila konstruksi tersebut menyebabkan kerugian harta, kecelakaan, dan kehilangan nyawa.

Selain karena alur perizinan yang berbelit-belit[5], pengajuan PBG (dulunya IMB) juga terkenal sejak lama menjadi ladang pungutan liar[6].

Hal ini ditambah pula dengan keruwetan[7] dokumen tambahan jika bangunan tersebut didirikan di atas tanah wakaf. Ini banyak ditemukan dalam kasus pembangunan fasilitas ibadah, termasuk pesantren.

Dalam logika birokrasi lumpuh yang sudah lama diabaikan ini, tanggung jawab pun selalu berpindah tangan–dari pemilik ke arsitek, arsitek ke konsultan teknis, konsultan ke kontraktor, kontraktor ke masyarakat. Negara sebagai regulator seakan mengabaikan tugasnya.

Ketika bangunan tanpa PBG runtuh, barulah pejabat datang membawa bela sungkawa, data perizinan, dan janji penyelidikan.

Mirisnya, yang jarang dibicarakan adalah pertanyaan paling sederhana, “siapa yang seharusnya memastikan gedung itu aman sebelum dibangun?”

Kerentanan ekonomi dan eksploitasi

Pesantren-pesantren di Indonesia yang hidup dari “donasi umat”, membuatnya amat rentan untuk dieksploitasi sebagai sebuah institusi.

Pembangunan fasilitas ruang kelas, asrama, hingga masjid dilakukan sedikit demi sedikit dengan cara yang paling hemat. Pemangkasan anggaran hanya dapat dilakukan dengan dua hal: menyiasati material atau ongkos jasa.

Al Khoziny memilih jalan pintas yang paling eksploitatif, yaitu mempekerjakan para santri[8]. Dan ternyata tradisi ini dipelihara pihak pesantren[9] sejak lama dengan dalih ‘gotong royong’ di kala senang atau hukuman di kala sial.

Melalui penelusuran platform Tiktok, setidaknya ada puluhan video yang merekam aktivitas “santri nguli” atau “santri ngecor”.[10]

Ini tidak hanya menyoroti lemahnya aturan seputar pekerja konstruksi di Indonesia, tapi juga perlindungan pekerja di bawah umur, serta perlindungan anak secara umum.

Fakta ironisnya adalah santri dieksploitasi oleh institusi yang semestinya hadir sebagai ruang aman untuk belajar.

Romantisasi agama, mengesampingkan hukum

Selama sepekan belakangan, berseliweran berita yang membingkai kasus ini sebagai bencana belaka, seakan apa yang menimpa para korban adalah takdir.

MUI menyebut 67 korban yang meninggal dunia sebagai syahid[11]. Ini menunjukkan adanya ketaatan yang berlebihan pada otoritas keagamaan.

Dalam budaya pesantren, suara pengurus hampir tidak terbantahkan. Sebagai contoh, keluarga salah satu korban menolak menerima santuan[12] dari pihak Ponpes Al Khoziny demi mendapat keberkahan dan rida kiai.

Padahal, pihak Al Khoziny hingga hari ini belum memberikan pertanyaan resmi mengenai prosedur keamanan atau legalitas pembangunan.

Tragedi Al Khoziny menelan setidaknya 67 korban jiwa, mayoritas santri usia belasan tahun.
Tim SAR sedang melakukan operasi pencarian dan penyelamatan bagi korban reruntuhan robohnya Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), CC BY[13][14]

Berita dan doa bisa berlalu. Namun, tragedi dan kemarahan masyarakat ini berisiko menguap jika kita tak menuntut pertanggungjawaban yang adil kepada pihak pesantren maupun pemerintah.

Pengaburan narasi

Alih-alih menjanjikan komitmen perbaikan dan pengawasan atas kelalaian pembangunan infrastruktur, pemerintah justru memunculkan wacana untuk membangun ulang ponpes Al Khoziny dengan APBN[15].

Ini merupakan upaya pengaburan narasi yang bertujuan menutup rapat sumber kesalahan. Padahal, kekerasan struktural tidak bisa disembunyikan di bawah beton baru.

Tragedi Ponpes Al-Khorizy pun bukan hanya tragedi lokal. Ia adalah cermin dari cara kita membiarkan bagaimana sistem yang seharusnya melindungi justru menjadi sumber bahaya.

Selama kita masih memisahkan antara “kecelakaan” dan “keputusan politik”, tragedi seperti ini akan terus berulang. Sebab, kekerasan struktural tidak hanya terjadi ketika gedung runtuh, ia sesungguhnya dimulai jauh sebelum fondasi digali.

References

  1. ^ menewaskan 67 orang (news.detik.com)
  2. ^ kekerasan struktural (www2.kobe-u.ac.jp)
  3. ^ hanya 52 dari 41.000 pesantren (www.tempo.co)
  4. ^ sanksi administratif sekaligus pidana (peraturan.bpk.go.id)
  5. ^ perizinan yang berbelit-belit (www.riau24.com)
  6. ^ ladang pungutan liar (mawartanews.com)
  7. ^ keruwetan (www.pontianaknews.com)
  8. ^ mempekerjakan para santri (www.bbc.com)
  9. ^ tradisi ini dipelihara pihak pesantren (jateng.nu.or.id)
  10. ^ “santri nguli” atau “santri ngecor”. (www.tiktok.com)
  11. ^ sebagai syahid (mui.or.id)
  12. ^ keluarga salah satu korban menolak menerima santuan (kumparan.com)
  13. ^ Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) (commons.wikimedia.org)
  14. ^ CC BY (creativecommons.org)
  15. ^ membangun ulang ponpes Al Khoziny dengan APBN (www.kompas.com)

Authors: Feysa Poetry, PhD Candidate in Architectural Practice, UCL

Read more https://theconversation.com/tragedi-ponpes-al-khoziny-kegagalan-struktur-atau-kekerasan-struktural-267018

Magazine

Tragedi Ponpes Al Khoziny: Kegagalan struktur atau kekerasan struktural?

Tampak atas Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur, yang telah ambruk.Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), CC BY● Tragedi Al Khoziny mencerminkan puncak kelalaian pembangun...

Setahun pemerintahan Prabowo-Gibran: Kebijakan publik elitis dan populis, minim analisis kritis

Satu tahun sudah Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka memimpin Indonesia.Masa satu tahun pertama pemerintahan idealnya menjadi fase krusial dalam menentukan arah dan karakter bangsa ke depan. P...

Pranata Mangsa: Kalender musim Jawa yang efektif meningkatkan hasil tani dan mencegah bencana

Nyoenn/Shutterstock● Banyak suku lokal yang memiliki kalendernya sendiri, termasuk masyarakat Jawa dengan Pranata Mangsa.● Kalender tersebut masih digunakan oleh banyak masyarakat Jawa seb...