Malaria di Tanah Papua: Komunikasi lisan kunci percepat pemberantasan penyakit
- Written by Ermi Ndoen, Peneliti Kesehatan Masyarakat, Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC) Kupang

● Anggapan masyarakat Papua bahwa malaria adalah penyakit yang tidak berbahaya menghambat upaya pengobatan.
● Menyampaikan narasi tentang malaria melalui komunikasi lisan dan visual dapat membantu menyikapi masalah ini.
● Kampanye malaria perlu diintegrasikan ke dalam program kesehatan lainnya.
Tanah Papua menyumbang 93% dari total 527 ribu kasus malaria[1] di Indonesia pada 2024. Beberapa kabupaten seperti Keerom dan Mimika bahkan memiliki intensitas penularan malaria sangat tinggi, dengan lebih dari 40% penduduk terkena malaria[2] setiap tahunnya.
Upaya pemberantasan malaria di Tanah Papua menghadapi tantangan kompleks dan beragam, termasuk kondisi geografis yang membuat sistem kesehatan sulit menjangkau daerah terpencil. Belum lagi, nyamuk penular malaria (Anopheles farauti) di kawasan ini sangat bervariasi. Setidaknya ada tujuh spesies[3] yang tersebar luas hingga Papua Nugini.
Faktor lainnya, sebagian besar masyarakat Papua menganggap malaria sebagai “penyakit biasa” yang tak berbahaya. Beberapa kepercayaan lokal[4] bahkan menghubungkan penyebab penyakit ini dengan roh halus atau cuaca. Akibatnya, mereka sering mengabaikan langkah pencegahan maupun pengobatan medis.
Penelitian yang dipublikasikan dalam Malaria Journal (2024) menunjukkan bahwa minimnya pemahaman masyarakat Papua terhadap bahaya malaria merupakan salah satu hambatan utama dalam upaya pengobatan penyakit ini secara cepat dan tepat[5].
Persepsi keliru juga menurunkan kepatuhan masyarakat minum obat antimalaria maupun menggunakan kelambu berinsektisida yang efektif dalam mencegah gigitan nyamuk penular malaria.
Karena itu, sebagai peneliti kesehatan masyarakat dan parasitologi, kami merekomendasikan strategi eliminasi yang lebih kontekstual, spesifik, dan terarah untuk mempercepat pemberantasan malaria di Tanah Papua. Strategi ini mengedepankan komunikasi yang responsif terhadap budaya setempat, melibatkan masyarakat, serta terintegrasi dengan layanan kesehatan lainnya.
Komunikasi adalah kunci
Kesalahpahaman masyarakat Papua mengenai malaria tidak terbentuk secara individual. Persepsi ini dipengaruhi oleh dinamika sosial yang lebih luas[6], seperti kepercayaan kuat masyarakat terhadap dukun, ataupun tokoh agama dan adat.
Selain itu, ketimpangan gender turut berkontribusi dalam memperlambat penanganan malaria. Di Papua, keputusan untuk berobat lebih sering didominasi oleh laki-laki, sementara pendapat perempuan kurang didengar. Pada kasus penyakit yang butuh penanganan cepat seperti malaria, situasi ini dapat berdampak fatal bagi orang yang terinfeksi.
Contohnya, seorang ibu tidak berani membawa anaknya ke puskesmas tanpa izin suami yang masih bekerja. Dampaknya, pengobatan dapat tertunda dan anak masuk ke fase infeksi malaria berat.
Read more: Sulitnya memberantas malaria di Tanah Papua, apa masalahnya?[7]
Pemerintah perlu menyiasati dinamika sosial tersebut dengan mengubah narasi bahwa malaria merupakan penyakit serius yang mematikan jika terlambat ditangani, sehingga masyarakat akan lebih terdorong untuk segera mencari pengobatan.
Strategi ini terbukti efektif mendorong sejumlah daerah di Papua Barat[8] (seperti Kabupaten Pegunungan Arfak di Papua Barat[9]) dan Timor Leste[10] terbebas dari malaria, termasuk mempertahankan kemajuan yang telah dicapai.
Layanan kesehatan yang sensitif terhadap budaya[11] sangat penting dalam meningkatkan pemahaman masyarakat Papua mengenai urgensi berobat di layanan kesehatan formal.
Apalagi ketika pengobatan formal terbukti meningkatkan kualitas hidup anak. Karena anak punya posisi penting dalam kepercayaan keluarga di Papua[12], situasi ini akan memengaruhi cara keluarga dalam mencegah dan mengobati malaria maupun penyakit lainnya.
1. Ibu mengambil keputusan berobat keluarga
Riset (2024) menunjukkan bahwa upaya pemberantasan malaria lewat komunikasi akan semakin efektif jika ibu didorong sebagai pengambil keputusan kesehatan keluarga[13].
Dalam banyak kasus, ibu adalah orang pertama yang menyadari masalah kesehatan[14] di keluarga. Mereka memainkan peran penting dalam membentuk perilaku keluarga untuk mencari pengobatan tepat waktu, kepatuhan dalam pengobatan malaria, maupun penggunaan kelambu.
2. Libatkan tokoh masyarakat
Memanfaatkan tokoh masyarakat yang dipercaya[16] (seperti pemuka agama, guru, dan kader kesehatan) merupakan strategi yang efektif dalam memperkuat pemberantasan malaria[17].
Para tokoh ini memiliki kredibilitas sosial tinggi dan sering dijadikan titik kontak pertama bagi masalah kesehatan. Namun, kontribusi mereka akan terbatas jika tidak dilengkapi dengan pelatihan dan sumber daya yang memadai.
Studi UNICEF di Tanah Papua menunjukkan ketika tokoh masyarakat dibekali keterampilan yang tepat, jumlah orang yang menjalani tes dan upaya masyarakat mencegah malaria meningkat secara signifikan[18].
Selain melatih cara berkomunikasi, pemberdayaan berbasis komunitas ini juga mendorong perubahan perilaku secara berkelanjutan.
Upaya ini dapat diintegrasikan ke dalam berbagai program kesehatan pemerintah melalui jaringan gereja maupun kemitraan dengan lembaga swadaya masyarakat.
Biayanya relatif rendah dan memiliki dampak jangka panjang terhadap pemberantasan malaria maupun peningkatan kualitas kesehatan masyarakat.
3. Utamakan komunikasi lisan dan visual
Di Tanah Papua, penyampaian pesan lewat komunikasi lisan dan visual dalam bahasa lokal lebih efektif ketimbang melalui materi tertulis saja.
Pasalnya, tradisi tutur di Papua sangat kuat dengan 482 bahasa daerah[19], sementara indeks literasi masyarakat relatif rendah[20].
Penelitian (2024) menujukkan bahwa sosialisasi dengan memanfaatkan cerita rakyat[22], lagu daerah, dan dialog langsung dengan masyarakat Papua terbukti meningkatkan pemahaman mereka mengenai bahaya malaria, serta kepatuhan dalam menggunakan kelambu.
Karena itu, materi informasi, edukasi, dan komunikasi (IEC) tentang malaria harus diterjemahkan ke dalam format budaya lokal.
Pemerintah perlu berkolaborasi dengan masyarakat lokal dalam pembuatan materi mengenai bahaya penyakit malaria, dibalut dengan unsur-unsur kebudayaan. Cara ini akan membantu meningkatkan kepercayaan masyarakat[23] dan keberlanjutan program.
4. Manfaatkan media sosial
Media sosial ampuh untuk menggaet generasi muda milenial dan Gen Z[24] dalam penyampaian pesan malaria.
Platform ini dapat dipakai untuk menyebarkan informasi pencegahan malaria yang berkaitan dengan kesejahteraan ibu hamil dan anak, meluruskan kesalahpahaman seputar malaria, serta mendorong pencarian pengobatan dan penggunaan kelambu.
Read more: Dampak malaria pada ibu hamil di Papua dan cara melawan penyakit ini[25]
Integrasikan dengan program kesehatan lain
Selain masalah komunikasi, fragmentasi layanan kesehatan di Indonesia menyebabkan program malaria berjalan tidak efisien, serta meningkatkan beban biaya masyarakat dalam menangani penyakit.
Dengan anggaran dan infrastruktur terbatas, pelayanan kesehatan terintegrasi[26] diperlukan untuk memberikan solusi praktis dalam meningkatkan kesehatan ibu dan anak, sembari mengurangi pengeluaran masyarakat yang tidak perlu.
Bukti menunjukkan[27] respons masyarakat meningkat ketika pesan malaria diintegrasikan dalam program lain, seperti gizi, kebersihan lingkungan, dan kunjungan pemeriksaan kehamilan dan setelah melahirkan. Hal ini akan turut meningkatkan kualitas kesehatan ibu-anak maupun program malaria secara bersamaan.
References
- ^ 93% dari total 527 ribu kasus malaria (www.who.int)
- ^ 40% penduduk terkena malaria (journals.plos.org)
- ^ tujuh spesies (pubmed.ncbi.nlm.nih.gov)
- ^ kepercayaan lokal (www.sciencedirect.com)
- ^ upaya pengobatan penyakit ini secara cepat dan tepat (malariajournal.biomedcentral.com)
- ^ dinamika sosial yang lebih luas (malariajournal.biomedcentral.com)
- ^ Sulitnya memberantas malaria di Tanah Papua, apa masalahnya? (theconversation.com)
- ^ Papua Barat (www.unicef.org)
- ^ Papua Barat (kemkes.go.id)
- ^ Timor Leste (www.apmen.org)
- ^ Layanan kesehatan yang sensitif terhadap budaya (researchoutput.csu.edu.au)
- ^ kepercayaan keluarga di Papua (www.sciencedirect.com)
- ^ pengambil keputusan kesehatan keluarga (malariajournal.biomedcentral.com)
- ^ menyadari masalah kesehatan (www.ajog.org)
- ^ Nowaczyk / Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ tokoh masyarakat yang dipercaya (pinfunpapua.com)
- ^ memperkuat pemberantasan malaria (www.unicef.org)
- ^ meningkat secara signifikan (www.unicef.org)
- ^ 482 bahasa daerah (jubi.id)
- ^ literasi masyarakat relatif rendah (www.bps.go.id)
- ^ Sinao photograpi / Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ cerita rakyat (www.empatika.org)
- ^ meningkatkan kepercayaan masyarakat (www.unicef.org)
- ^ menggaet generasi muda milenial dan Gen Z (www.unicef.org)
- ^ Dampak malaria pada ibu hamil di Papua dan cara melawan penyakit ini (theconversation.com)
- ^ pelayanan kesehatan terintegrasi (gh.bmj.com)
- ^ Bukti menunjukkan (www.unicef.org)
Authors: Ermi Ndoen, Peneliti Kesehatan Masyarakat, Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC) Kupang