Fatwa haram ‘sound horeg’: Benarkah Islam menolak perkembangan teknologi?
- Written by Mukh Imron Ali Mahmudi, Ph.D. Candidate at the Institute of Cultural Anthropology and Development Sociology, Leiden University, Leiden University

● Islam kerap dituduh sebagai antiteknologi karena kerap melarang perkembangan teknologi, termasuk sound horeg.
● Penolakan Islam terhadap teknologi bukan karena keyakinan agama, tetapi lebih kepada dampak sosial, budaya, dan ekonomi.
● Sound horeg berpotensi menyebabkan pencemaran suara dan gangguan pendengaran.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur mengeluarkan fatwa yang melarang pemutaran sound horeg[1], sebuah hiburan jalanan menggunakan musik yang sangat keras.
Meskipun banyak yang setuju dengan keputusan ini, beberapa orang menanggapi secara berbeda di media sosial.
Reaksi paling keras datang dari mereka yang menganggap fatwa tersebut membuktikan MUI menolak semua sistem suara (sound system) sepenuhnya, termasuk penggunaannya dalam kegiatan keagamaan. Pemahaman ini, pada tingkat yang lebih radikal, dapat menuduh Islam menolak teknologi.
Beberapa akademisi[2] bahkan mendukung narasi bahwa Islam bertentangan dengan teknologi[3] (atau sains). Mereka berpendapat bahwa agama dan sains saling bertentangan.
Read more: Apa dampak politisasi fatwa MUI bagi Indonesia?[4]
Menurut mereka, agama identik dengan pengabdian kepada Tuhan. Sementara sains mewakili kemajuan, rasionalitas, dan eksplorasi.
Asumsi-asumsi yang meyakini bahwa Islam menolak perkembangan teknologi sebenarnya bisa dibantah secara ilmiah dengan contoh kasus.
Alasan penolakan bukan perkara agama
Penolakan teknologi oleh sejumlah negara Islam telah terjadi sejak lama[5].
Namun, penolakan terhadap kemajuan teknologi di dunia Islam tidak selalu berakar pada keyakinan agama semata, melainkan pula kekhawatiran akan dampak sosial, budaya, dan ekonomi yang ditimbulkan.
Pada abad ke-17, negara-negara Islam maupun mayoritas Muslim menerima penemuan kertas[6] dengan antusias, tapi menolak percetakan.
Dunia Barat modern menganggap penolakan itu menandai negara Islam “jijik” atau enggan untuk belajar. Padahal, Kesultanan Utsmaniyah saat itu enggan mengadopsi percetakan karena pengunaannya berpotensi mengancam ekonomi dan mata pencaharian para penyalin, kaligrafer, dan iluminator.
Sebelum ada percetakan, banyak orang mencari nafkah sebagai penyalin. Pada tahun 1682, terdapat sekitar 80 ribu penyalin di Istanbul[8]. Kelompok pekerja ini melawan keras[9] penggunaan teknologi baru.
Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa perlawanan terhadap teknologi dibentuk oleh kombinasi kekhawatiran budaya, ekonomi, agama, serta ketakutan akan hilangnya manfaat ekonomi.
Dalam konteks teknologi yang sedang berkembang, kecerdasan buatan (AI) awalnya juga ditolak[10] oleh Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 2023, terutama jika penggunaannya sebagai rujukan atau panduan utama dalam praktik keagamaan.
Namun, penggunaan AI untuk tujuan lain, misalnya untuk bertanya atau sekadar menambah khazanah pengetahuan masih diperbolehkan.
Penolakan ini tidak boleh dipandang sebagai resistansi terhadap kemajuan teknologi, melainkan kekhawatiran perkembangan teknologi yang akan berdampak buruk bagi kemanusiaan.
Kekhawatiran serupa terhadap teknologi sebenarnya tidak hanya terjadi di kelompok Islam, tetapi juga di kelompok dengan latar belakang beragam.
Misalnya, para buruh sering kali menolak inovasi atau mesin yang mengancam akan menggantikan pekerjaan mereka.
Banyak juga pihak yang menolak penggunaan AI untuk menghasilkan gambar bergaya Studio Ghibli. Alasannya bukan karena mereka menentang AI, tetapi karena mereka ingin melindungi hak cipta dan seniman manusia[11].
Beberapa cendekiawan Islam memang cenderung menentang perkembangan sains dan teknologi dalam kehidupan mereka. Seyyed Hossein Nasr[12], seorang filsuf, teolog, dan cendekiawan Islam asal Iran, berpendapat bahwa teknologi tradisional mempertahankan hubungan langsung dengan budaya yang ada. Dalam beberapa hal, teknologi tradisional melayani nilai-nilai masyarakat.
Sebaliknya, dia menganggap teknologi modern kerap menandai prinsip-prinsip tradisional dan agama yang ditinggalkan masyarakat.
Read more: Mempertanyakan kembali esensi MUI: untuk membimbing umat atau menimbulkan perpecahan?[13]
Ulama sekaligus politikus Iran lainnya, Seyyed Mohammad Mehdi Mirbagheri[14], menyatakan bahwa dalam masyarakat non-agama, seluruh proses dalam mencapai perkembangan teknologi sama saja dengan penyerahan diri kepada dunia material dan pengejaran kesenangan.
Meski demikian, perspektif Nasr dan Mirbagheri berlandaskan pada “pengembangan kedekatan dengan Tuhan.” Mereka hendak menegaskan bahwa sains dan teknologi idealnya diproduksi di bawah bimbingan agama.
Dampak buruk ‘sound horeg’
Dalam kasus sound horeg, beberapa alasan penolakannya adalah untuk mencegah pencemaran suara dan gangguan pendengaran bagi masyarakat.
Kebisingan ekstrem dari sound horeg bisa mengganggu kesehatan secara umum[15]. Dalam jangka panjang, lingkungan yang terlalu bising bisa menimbulkan stres, kecemasan, gangguan tidur, peningkatan tekanan darah, hingga risiko penyakit jantung.
Terlebih untuk kelompok rentan termasuk pada anak-anak dan remaja, mereka dapat mengalami kesulitan berkomunikasi dan konsentrasi.
Sound horeg juga berdampak negatif pada aspek sosial. Suara dan getaran ekstrem seringkali membuat kaca rumah di dekat lokasi pecah.
Rangkaian karnaval sound horeg tidak jarang menyebabkan kerusakan fisik bangunan sekitarnya. Dalam banyak video, panitia sering kali membongkar[17] jembatan, gapura, atau bahkan genting[18] milik warga yang dianggap menghalangi susunan sound yang diarak dalam karnaval.
Dengan berbagai mudharat (dampak buruk) sound horeg itu, penolakannya bukan semata karena Islam anti terhadap perkembangan teknologi, melainkan kekhawatiran akan berbagai dampak buruk akibat teknologi.
Read more: Negara mengakui eksistensi 'sound horeg': Upaya melindungi atau justru membatasi?[19]
Kekhawatiran itu terwujud dalam fatwa haram, sejalan dengan prinsip atau tujuan hukum Islam (maqasid al-shariah)[20] yang berfokus pada hikmah dan manfaat yang ingin dicapai bagi individu dan masyarakat.
Tindakan yang terkesan menolak semacam ini tidak mencerminkan penolakan terhadap teknologi. Kritik dari kelompok Islam terhadap teknologi tidak selalu berarti antiteknologi seperti yang sering dituduhkan.
Mayoritas kelompok Islam meyakini bahwa agama bertanggung jawab mengelola kedekatan dengan Tuhan dan perkembangan moral umat manusia. Jika tidak, produksi dan penggunaan teknologi modern mungkin tidak menyelesaikan krisis, melainkan justru menimbulkan masalah yang semakin kompleks bagi lingkungan dan jiwa manusia.
References
- ^ fatwa yang melarang pemutaran sound horeg (mui.or.id)
- ^ Beberapa akademisi (gwern.net)
- ^ bertentangan dengan teknologi (ia902908.us.archive.org)
- ^ Apa dampak politisasi fatwa MUI bagi Indonesia? (theconversation.com)
- ^ telah terjadi sejak lama (www.cambridge.org)
- ^ penemuan kertas (dergipark.org.tr)
- ^ PR Image Factory/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ 80 ribu penyalin di Istanbul (www.jstor.org)
- ^ melawan keras (www.jstor.org)
- ^ ditolak (voi.id)
- ^ ingin melindungi hak cipta dan seniman manusia (www.nytimes.com)
- ^ Seyyed Hossein Nasr (ideas.repec.org)
- ^ Mempertanyakan kembali esensi MUI: untuk membimbing umat atau menimbulkan perpecahan? (theconversation.com)
- ^ Seyyed Mohammad Mehdi Mirbagheri (ideas.repec.org)
- ^ mengganggu kesehatan secara umum (www.kompas.id)
- ^ Massooll/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ membongkar (radarjember.jawapos.com)
- ^ genting (jatim.tribunnews.com)
- ^ Negara mengakui eksistensi 'sound horeg': Upaya melindungi atau justru membatasi? (theconversation.com)
- ^ tujuan hukum Islam (maqasid al-shariah) (muslim.sg)
Authors: Mukh Imron Ali Mahmudi, Ph.D. Candidate at the Institute of Cultural Anthropology and Development Sociology, Leiden University, Leiden University