Grup penyintas judi ‘online’: Ruang berbagi trauma dan doa untuk sembuh bersama
- Written by Khumaid Akhyat Sulkhan, Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
● Grup Facebook menjadi ruang penyintas judi ‘online’ untuk mengatasi masalah kecanduan.
● Melalui cerita personal, mereka membangun ingatan bersama seputar dampak merugikan judi online.
● Perlu upaya mengisi gap pengakuan virtual dan mengubahnya menjadi aksi nyata.
“Saya sebelas tahun bermain judol (judi ‘online’). Yang awalnya iseng malah kecanduan parah dan ini tahun paling buruk dalam hidup saya. Dipecat dari pekerjaan, tabungan habis, hutang di mana-mana, paling sedih istri hitungan hari mau melahirkan. Tapi tidak ada tabungan…”
Ini adalah penggalan status dari anggota komunitas virtual Rehabilitasi Korban Kecanduan Judi online (RKKJO) di Facebook. Seperti namanya, komunitas tersebut berisikan akun yang menganggap dirinya pecandu judi online (judol) yang ingin keluar dari jerat permainan tersebut.
Saya mengamati komunitas ini sejak awal 2024, tidak lama setelah terbentuk. Dalam grup tersebut, saban hari saya mendapati para anggotanya berbagi cerita-cerita kesialan mereka akibat kecanduan judol, dengan narasi hampir seragam: mulai dari keisengan atau sekadar mengikuti ajakan teman, lantas berujung kecanduan sampai mengganggu hidup yang tadinya stabil.
Sebagian besar unggahan berisi komentar dukungan moral berupa doa. Ada juga unggahan tips untuk bertahan dari hari ke hari, sekalipun hidup dalam tumpukan utang dan depresi. Ada juga unggahan tentang langkah-langkah untuk berhenti dari judol.
Fenomena komunitas virtual semacam ini tentu bukan hal pertama dan satu-satunya. Sebelumnya, saya pernah mengeksplorasi grup Facebook berisi orang-orang yang kecanduan masturbasi[1]. Belakangan, seorang kawan juga menunjukkan kepada saya, ada komunitas di Facebook untuk orang-orang dengan gangguan asam lambung.
Semua itu merefleksikan bagaimana komunitas virtual berperan menjadi online support group[2]. Anggota grup ini dipersatukan dalam masalah yang sama. Di ruang itulah mereka saling memberi informasi serta berbagi dukungan untuk mengatasi masalah tersebut.
Memori komunikatif dalam komunitas virtual
Komunitas virtual saat ini merupakan hasil dari relasi yang kuat antara manusia dengan teknologi. Sebab, kita (terutama warga perkotaan), sudah menjadi masyarakat digital[3] karena begitu akrab dengan teknologi dalam kehidupan sehari-hari.
Cara orang mencari dukungan sosial melalui komunitas virtual juga menjadi salah satu efek atas keakraban ini.
Dalam grup virtual seperti RKKJO, anggotanya menerapkan praktik memori komunikatif melalui praktik mengingat yang partisipatif atau bersama-sama[4]. Dalam praktik ini, masyarakat yang terus mengalami proses penentuan[5]: Apa yang mesti diingat dan dilupakan.
Dalam grup RKKJO: mereka menekankan ingatan tentang judol sebagai permainan yang merugikan. Dalam waktu yang nyaris bersamaan, mereka berusaha melupakan kenikmatan berjudi online—sensasi yang membuat mereka kecanduan.
Ingatan yang mengacu pada kesenangan berjudi kemudian tergantikan oleh narasi bahwa kenikmatan itu hanyalah ilusi.
Anggota RKKJO mewujudkan praktik ingatan tersebut dengan berbagi kisah bagaimana judol memanipulasi mereka hingga akhirnya mengalami kerugian finansial dan sosial yang signifikan.
Mereka menggunakan pengalaman personal sebagai pelajaran moral bahwa judi hanya menghabisi kebaikan-kebaikan di hidup mereka.
Dari ingatan personal yang traumatis itu, mereka membangun pemikiran logis mengenai alasan kenapa anggota lain sebaiknya menjauh dari judol mumpung belum terjerat lebih dalam.
Beberapa di antaranya juga membagikan langkah-langkah mereka dalam usaha keluar dari jeratan judol. Terutama, mereka yang sudah meraih kembali stabilitas dalam hidup, baik secara finansial maupun sosial.
Melalui pemaknaan atas pengalaman personal, komunitas ini membangun pembenaran bahwa judol adalah permainan yang merusak dan harus ditinggalkan.
Read more: Mengapa orang bisa kecanduan bermain judi 'online'?[6]
Situasi tersebut menunjukkan bahwa proses mengingat berulang kali akan melanggengkan memori bersama. Ini berperan penting dalam keberlanjutan identitas kelompok[7], termasuk eks pecandu judol.
Performa sosial
Praktik memori komunikatif dalam komunitas virtual RKKJO turut membangun identitas anggotanya sebagai sesama penyintas judol yang sedang berupaya keluar dari jerat permainan tersebut.
Pengalaman personal mereka menjadi ‘mata uang’ informasi yang dipertukarkan dengan validasi dan dukungan di antara para anggota. Alhasil, praktik memori komunikatif dalam hal ini juga dapat dimaknai sebagai bagian dari performa sosial anggota komunitas tersebut.
Performa sosial[8] adalah tindakan seseorang untuk menggerakkan emosi, membangun makna bersama, atau kohesi sosial, dengan menunjukkan tindakan sosial tertentu.
Dalam praktiknya, performa sosial mengacu pada aktivitas “pertunjukan” identitas seseorang, ekspresi tertentu, atau sikapnya terhadap suatu fenomena melalui platform. Ini yang memungkinkan mereka “dipertontonkan” dan ditanggapi oleh pengguna lain.
Dalam konteks RKKJO, performa sosial mengacu pada kemampuan individu untuk menarasikan diri dan menegosiasikan posisi dalam komunitas.
Pilihan untuk berbagi kisah personal, dengan kesadaran menyeleksi ingatan, merupakan upaya memperoleh pengakuan, pengaruh, dan bahkan solidaritas. Alhasil, performa sosial membuat para anggota berinteraksi lebih dalam dan saling bercermin satu sama lain.
Keintiman ini terwujud melalui jejaring relasi yang saling mendukung produksi ingatan mengenai judol. Ini bisa melalui unggahan rutin, komentar, dan interaksi antaranggota.
Mereka pun menunjukkan nilai-nilai bersama yang mengonfirmasi dampak negatif judol berdasarkan ingatan tentang kekalahan dan kerugian selama memainkannya.
Read more: Komunitas online memang berisiko bagi kaum muda, tapi mereka juga merupakan sumber dukungan yang penting[9]
Tentu saja praktik tersebut tidak bisa dilepaskan dari fitur-fitur teknologi media sosial. Misalnya, dalam RKKJO, fitur-fitur grup pribadi dan kebebasan penyematan nama akun membuat mereka leluasa berbagi cerita tanpa khawatir identitas akan bocor.
Dalam masyarakat digital, status sosial, gender, dan tubuh fisik memang bukan lagi menjadi hal utama dalam berkomunikasi. Justru yang penting dan khas di media sosial adalah pesan-pesan yang saling berinteraksi[10].
Kelemahan
Media sosial seperti Facebook tampak memberi harapan kepada para pecandu judol untuk mencari dukungan sosial dan membangun kesadaran kolektif.
Namun, pada satu titik, keterbukaan Facebook justru membuat mereka harus menjadi sasaran perundungan, sales judol, dan buaian-buaian yang bisa membuat mereka tergiur untuk mencoba pinjaman online.
Belum lagi banyak anggota juga tidak konsisten terlibat sehingga kita sulit mengetahui sejauh mana peran komunitas ini terhadap kesejahteraan mental penyintas judol. Apalagi sebagian besar menggunakan nama berbeda ketika berinteraksi.
Oleh karena itu, tantangannya bukan cuma bagaimana komunitas ini bertahan di tengah cairnya dunia digital, tetapi juga bagaimana menjembatani kesenjangan antara pengakuan virtual dan perubahan nyata.
References
- ^ kecanduan masturbasi (mojok.co)
- ^ online support group (www.sciencedirect.com)
- ^ masyarakat digital (www.sciencedirect.com)
- ^ praktik mengingat yang partisipatif atau bersama-sama (www.taylorfrancis.com)
- ^ mengalami proses penentuan (archiv.ub.uni-heidelberg.de)
- ^ Mengapa orang bisa kecanduan bermain judi 'online'? (theconversation.com)
- ^ keberlanjutan identitas kelompok (www.researchgate.net)
- ^ Performa sosial (www.researchgate.net)
- ^ Komunitas online memang berisiko bagi kaum muda, tapi mereka juga merupakan sumber dukungan yang penting (theconversation.com)
- ^ pesan-pesan yang saling berinteraksi (books.google.co.id)
Authors: Khumaid Akhyat Sulkhan, Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta




