Asian Spectator

Men's Weekly

.

AI makin jago berhitung, guru perlu ajarkan matematika secara kritis

  • Written by Sitti Maesuri Patahuddin, Associate Professor in STEM Education Research Centre (SERC) Faculty of Education, University of Canberra, Bruce, ACT 2601 Australia, University of Canberra

● Pengajaran matematika di Indonesia masih berfokus pada hafalan rumus, bukan penalaran konseptual.

● Pendidikan matematika perlu lebih menekankan pada pemahaman, kreativitas, dan pemecahan masalah.

● Guru berperan penting untuk memantik rasa ingin tahu agar siswa mengembangkan penalaran matematis secara kritis.

Di banyak ruang kelas di Indonesia, pelajaran matematika sering dimulai dengan guru menuliskan rumus di papan tulis. Siswa menghafal rumus itu, menirukan langkah pengerjaan, lalu mengganti angka sesuai contoh soal tanpa memahami konsep di baliknya.

Misalnya, ketika menuliskan rumus luas segitiga “L=½ x a x t”, guru jarang mengajak siswa mencari tahu dari mana rumus itu berasal. Alhasil, siswa bisa menyelesaikan sederet latihan rutin dengan jawaban yang benar, tetapi tidak mampu menjelaskan mengapa rumus itu berlaku atau bagaimana konsep tersebut berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.

Akibatnya, begitu soal diubah sedikit saja, banyak siswa kelimpungan—karena rumus yang dihafal tak persis seperti contoh yang diberikan.

AI bisa digunakan untuk mengerjakan soal matematika.

Metode hafalan seperti ini sudah sangat tidak relevan, apalagi sekarang ada kecerdasan buatan[1] (artificial intelligence/AI) yang bisa membantu melakukan semua perhitungan itu dengan lebih cepat dan semakin akurat.

Guru di era AI ini tidak bisa lagi hanya sekadar mengajarkan rumus atau hafalan[2], tetapi harus membekali siswa dengan kemampuan nalar yang belum bisa digantikan oleh mesin, seperti berpikir matematis, memahami konsep, dan mengaitkannya dengan konteks nyata.

Read more: AI masuk kurikulum pendidikan: Sesuai kebutuhan zaman atau terlalu dipaksakan?[3]

Menghafal tak lagi cukup

Pendekatan pengajaran prosedural—guru menjelaskan prosedur, siswa menirukan—mungkin relevan untuk era industri awal (1760-1840)[4]. Sebab saat itu, sektor manufaktur menuntut pekerja yang patuh dan terampil mengikuti prosedur. Latihan berulang dianggap cukup untuk memenuhi keperluan industri pada zaman itu.

Namun menuju abad ke-22 ini, dengan AI yang mampu menyelesaikan soal rutin, pendidikan harus berfokus pada penalaran, kreativitas, berpikir kritis, pemecahan masalah dan kemampuan beradaptasi.

Jika siswa bisa dengan mudah bertanya kepada ChatGPT[5] atau Wolfram Alpha[6] tentang luas permukaan sebuah balok, maka nilai belajar bukan lagi terletak pada hasil perhitungannya, melainkan pada cara berpikir di baliknya.

Pertanyaan yang lebih bermakna, misalnya: “Bagaimana merancang kemasan makanan agar menggunakan bahan seminimal mungkin?”, atau, “Pola atau prinsip apa yang bisa kita temukan dari perhitungan ini?”

Pertanyaan semacam ini menuntut imajinasi, logika, dan kebijaksanaan—kemampuan manusia yang tak tergantikan oleh mesin.

Read more: Prabowo minta matematika diajarkan di TK. Bagaimana seharusnya?[7]

Pembelajaran berbasis inkuiri

Di berbagai negara seperti Australia, Singapura, Finlandia, dan Kanada, pembelajaran matematika telah bergeser menuju pendekatan berbasis inkuiri[8]. Siswa diajak mengeksplorasi masalah, berbagi strategi, membandingkan berbagai cara penyelesaian, dan menemukan prinsip umum bersama.

Dalam kelas semacam ini[9], guru tidak langsung memberikan rumus, tetapi memulai dengan permasalahan nyata:

“Jika kita ingin membungkus kotak ini tanpa sisa kertas, bagaimana cara menghitung jumlah kertas yang dibutuhkan?”

Siswa kemudian mengukur, menggambar, dan berdiskusi. Langkah demi langkah, mereka memaknai hubungan antar sisi dan akhirnya menurunkan rumus luas permukaan.

Model ini, dikenal sebagai Teaching Through Problem Solving[10], mendorong siswa menggunakan berbagai bentuk representasi—konkret, visual, verbal, dan simbolik.

Pendekatan ini sejalan dengan kerangka ELPSA (Experience, Language, Pictorial, Symbolic, Application)[11] serta visi OECD Learning Compass 2030[12] dan UNESCO Futures of Education[13] yang menekankan pembelajaran bermakna, reflektif, dan kontekstual.

Di sekolah dasar di Australia, misalnya guru mengajak siswa mencari tahu “kapan waktu terbaik untuk bermain pada hari Senin”[14] dengan menggunakan data cuaca. Setelah data terkumpul, siswa diminta memilih cara terbaik untuk menampilkan informasi tersebut.

Guru menunjukkan berbagai jenis grafik dan menjelaskan kegunaan masing-masing, lalu mengajak siswa melihat bagaimana Biro Meteorologi menampilkan data suhu dan hujan. Siswa kemudian mencoba beberapa jenis grafik dan memilih mana yang paling jelas menunjukkan perubahan cuaca sepanjang hari. Pendekatan ini membantu siswa memahami data secara bermakna sambil belajar membuat keputusan berdasarkan bukti.

Guru sebagai perancang rasa ingin tahu

Pendekatan inkuiri tidak mengurangi peran guru tapi justru memperkuatnya. Guru menjadi perancang rasa ingin tahu, yang menyiapkan masalah menantang namun terjangkau, memandu diskusi, serta membantu siswa mengaitkan intuisi dengan struktur matematika.

Peran ini membutuhkan pengetahuan pedagogis dan konten (pedagogical content knowledge/PCK)[15] yang mendalam—tidak hanya memahami konsep matematika, tetapi juga bagaimana siswa memahaminya. Guru perlu mendengarkan pemikiran siswa, memunculkan berbagai strategi, dan menuntun mereka mencapai pemahaman bersama.

Contohnya, saat mengajar 5×14, guru tidak langsung memberi cara cepat tapi bertanya, “Ada berapa cara untuk mendapatkan hasilnya?”

Siswa mencoba berbagai strategi: ada yang menukar urutan menjadi 14×5 (komutatif), ada yang memecah 14 menjadi 10 dan 4 lalu menghitung 5×10 dan 5×4 (distributif), dan ada yang melihat bahwa 5×14 sama dengan 10×7 karena siswa menunjukkan strategi pengelompokan lain menggunakan alat peraga. Dengan cara ini, siswa memahami konsep, bukan sekadar menghafal.

Guru juga perlu menerapkan pendekatan co-design yang menempatkan guru bukan sekadar sebagai pelaksana kebijakan, tetapi sebagai mitra utama dalam merancang dan merefleksikan praktik pembelajaran.

Read more: Belajar dari Australia: Agar efektif dan berkelanjutan, pendidikan di Indonesia perlu 'co-design'[16]

Misalnya, saat sekolah ingin memperbaiki pembelajaran matematika, guru dapat merancang tugas kontekstual, mencobanya di kelas, lalu berkumpul kembali untuk membahas apa yang berhasil dan apa yang perlu diperbaiki. Guru bahkan perlu melibatkan siswa dalam proses perbaikan rancangan pembelajaran. Dengan cara ini, guru dan siswa benar-benar menjadi mitra dalam mendesain dan mengevaluasi pembelajaran.

Dengan dukungan alat analisis berbasis AI[17], kolaborasi antara guru, pelatih, dan pemangku kepentingan lainnya[18] dapat memperkaya proses inkuiri di kelas, memastikan inovasi pendidikan lahir dari kebutuhan nyata dan berakar pada konteks sekolah masing-masing.

Matematika untuk abad ke-22

AI makin jago berhitung, guru perlu ajarkan matematika secara kritis
Dengan adanya AI, pengajaran matematika perlu fokus ke pemahaman, bukan hafalan. Summit Art Creations/shutterstock[19]

Di masa depan, keberhasilan belajar matematika tidak lagi akan diukur dari seberapa cepat seseorang menghafal rumus, tetapi dari seberapa dalam ia memahami pola dan makna di baliknya[20]. Sehingga, pembelajaran berbasis inkuiri bukan sekadar tren—melainkan kebutuhan.

Ruang kelas matematika seharusnya menjadi laboratorium penalaran—tempat siswa menguji gagasan, memodelkan masalah, dan berkreasi bersama teknologi. Artinya, AI tak perlu menjadi ancaman bagi pendidikan.

Ketika siswa berdiskusi, berdebat, dan memberikan alasan, mereka mengembangkan kebiasaan berpikir matematis yang tak dapat ditiru mesin. Kemampuan ini penting agar generasi mendatang dapat menafsirkan data, mempertanyakan bukti, dan mengambil keputusan yang etis.

Pendekatan ini membantu siswa menggunakan teknologi secara kritis, mengomunikasikan penalaran dengan jelas, dan menghadapi ketidakpastian dengan rasa ingin tahu. Ketika mesin dapat menghitung segalanya, mengajarkan siswa untuk berpikir secara matematis menjadi tugas paling mendasar dalam pendidikan.

References

  1. ^ kecerdasan buatan (theconversation.com)
  2. ^ Guru di era AI ini tidak bisa lagi hanya sekadar mengajarkan rumus atau hafalan (www.thejakartapost.com)
  3. ^ AI masuk kurikulum pendidikan: Sesuai kebutuhan zaman atau terlalu dipaksakan? (theconversation.com)
  4. ^ era industri awal (1760-1840) (internasional.kompas.com)
  5. ^ ChatGPT (chatgpt.com)
  6. ^ Wolfram Alpha (www.wolframalpha.com)
  7. ^ Prabowo minta matematika diajarkan di TK. Bagaimana seharusnya? (theconversation.com)
  8. ^ pendekatan berbasis inkuiri (www.ams.org)
  9. ^ kelas semacam ini (resolve.edu.au)
  10. ^ Teaching Through Problem Solving (link.springer.com)
  11. ^ ELPSA (Experience, Language, Pictorial, Symbolic, Application) (files.eric.ed.gov)
  12. ^ OECD Learning Compass 2030 (www.oecd.org)
  13. ^ UNESCO Futures of Education (unesco.org)
  14. ^ “kapan waktu terbaik untuk bermain pada hari Senin” (resolve.edu.au)
  15. ^ pengetahuan pedagogis dan konten (pedagogical content knowledge/PCK) (journals.sagepub.com)
  16. ^ Belajar dari Australia: Agar efektif dan berkelanjutan, pendidikan di Indonesia perlu 'co-design' (theconversation.com)
  17. ^ alat analisis berbasis AI (theconversation.com)
  18. ^ kolaborasi antara guru, pelatih, dan pemangku kepentingan lainnya (theconversation.com)
  19. ^ Summit Art Creations/shutterstock (www.shutterstock.com)
  20. ^ seberapa dalam ia memahami pola dan makna di baliknya (brill.com)

Authors: Sitti Maesuri Patahuddin, Associate Professor in STEM Education Research Centre (SERC) Faculty of Education, University of Canberra, Bruce, ACT 2601 Australia, University of Canberra

Read more https://theconversation.com/ai-makin-jago-berhitung-guru-perlu-ajarkan-matematika-secara-kritis-269529

Magazine

Riset: Remaja perempuan yang bepergian sendiri hadapi risiko dan tekanan mental lebih besar

Seorang perempuan berjalan melintasi jembatan pejalan kaki di lingkungan perkotaan.Spjuntak/Shutterstock● Remaja perempuan merasa lebih tidak aman dalam menjelajahi ruang-ruang kota ketimbang re...

Hidup dan mati di tengah ironi ketimpangan infrastruktur Indonesia

(Dompet Dhuafa)● Infrastruktur tak sekadar benda mati, tapi jadi cerminan perlakuan negara.● Ketimpangan dan penyelewengan memicu bertumpuknya emosi sehingga memengaruhi sikap rakyat terha...

AI makin jago berhitung, guru perlu ajarkan matematika secara kritis

● Pengajaran matematika di Indonesia masih berfokus pada hafalan rumus, bukan penalaran konseptual.● Pendidikan matematika perlu lebih menekankan pada pemahaman, kreativitas, dan pemecahan...