Sekadar tahu sains terbuka tidak cukup untuk mencegah perilaku riset tidak etis
- Written by Abdul Hadi, Junior Researcher, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
● Kesadaran sains terbuka saja tak cukup menciptakan iklim riset yang etis, terlebih tanpa dukungan ekosistem riset memadai.
● Tekanan publikasi dan insentif kuantitatif kerap memicu praktik riset tidak etis.
● Diperlukan perubahan budaya penelitian berlandaskan kualitas dan transparansi untuk menciptakan ekosistem riset yang sehat.
Kesadaran terhadap sains terbuka (open science) tak serta merta memenuhi asas keetisan penelitian. Perlu upaya bersama dari peneliti, institusi pendidikan, hingga penerbit ilmiah (scientific publisher) untuk mempromosikan sains terbuka agar dapat diterapkan secara lebih luas.
Meskipun para peneliti menyadari pentingnya sains terbuka, tapi kesadaran saja tidak cukup. Penelitian tahun 2024[1] menunjukkan bahwa upaya menerapkan sains terbuka memang terjal. Banyak faktor lain yang berkontribusi atas penerapan sains terbuka di ekosistem riset kita.
Analoginya mirip dengan kesadaran bahwa korupsi itu buruk. Namun, sekadar tahu dan sadar bahwa korupsi tindakan buruk tidak berarti bisa mutlak mengurangi perilaku korupsi di masyarakat.
Read more: Riset temukan masyarakat cenderung toleran terhadap korupsi. Ini mempersulit pemberantasannya[2]
Mendorong kesadaran implementasi penelitian yang etis harus ditopang oleh berbagai aspek lain. Contohnya mulai dari dukungan kelembagaan dengan kebijakan universitas yang menekankan data sharing, hingga menyediakan pendanaan untuk akses terbuka (open access).
Kesadaran tersebut membutuhkan juga perubahan budaya penelitian yang menghargai kolaborasi, transparansi, dan replikasi yang setara dengan publikasi.
Sistem insentif akademis pun harus ikut bergeser, dari yang semula menilai reputasi berdasarkan kuantitas menjadi kualitas, keterbukaan metode, dan kontribusi ilmiah yang dapat diverifikasi.
Bukan hanya transparansi data
Praktik sains terbuka tidak hanya usaha praregistrasi (preregistration), transparansi data penelitian, akses terbuka, hingga menolak praktik riset tak bertanggung jawab.
Lebih jauh lagi, sains terbuka berlandaskan pada nilai-nilai di dalam ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, pengetahuan saintifik terdiri atas empat nilai utama: universalisme, komunalisme, ketidakberpihakan, dan skeptisisme[3] atau keraguan yang terstruktur.
Keempat nilai ini dapat berjalan jika peneliti menggabungkan praktik sains terbuka dalam kegiatan riset mereka. Contohnya, nilai skeptisisme dalam sains harus ditegakkan karena setiap teori harus diuji berulang kali melalui penelitian selanjutnya untuk mengungkap realita dan dinamika di lapangan secara akurat.
Penelitian tahun 2011[4], misalnya, mengklaim adanya kemampuan cenayang (precognition) atau kecakapan meramal masa depan manusia. Delapan dari sembilan eksperimen dalam penelitian tersebut menunjukkan hasil signifikan (p < 0,05).
Namun ternyata, upaya replikasi oleh peneliti lain justru gagal mengonfirmasi temuannya[5]. Padahal, prosedur yang digunakan sama persis.
Perbedaan kedua studi tersebut menunjukkan bahwa temuan awal kemungkinan besar bukan gambaran dari fenomena nyata, melainkan hasil positif palsu (false positive) dari penelitian tahun 2011. Ini muncul karena kebetulan statistik atau kelemahan desain penelitian.
Selain itu, studi awal berpotensi mengandung bias analisis[6], seperti memilih uji statistik tertentu atau menghentikan pengumpulan data ketika sudah signifikan. Hasilnya memberikan ilusi bahwa fenomena tersebut valid. Kegagalan replikasi bukan sekadar kegagalan metodologis, tetapi sinyal bahwa temuan awal tidak stabil dan tidak mencerminkan realitas empiris.
Dengan kata lain, sains terbuka bertujuan mewujudkan nilai-nilai universalisme, komunalisme, ketidakberpihakan, dan skeptisisme tersebut[7] dalam praktik riset di lapangan.
Terkungkung sistem penilaian
Sayangnya, hambatan penerapan sains terbuka juga muncul dari lembaga penerbit ilmiah dan institusi penelitian, termasuk universitas.
Dalam konteks ini, peneliti adalah “korban” sekaligus “pelaku”. Mereka (bisa jadi) memahami pentingnya sains terbuka, tetapi belum sepenuhnya mampu menerapkannya secara konsisten.
Read more: Mengapa sains terbuka dapat meningkatkan komunikasi sains dan memperkuat literasi publik di Indonesia[8]
Sebagai korban, para peneliti kerap tersandera oleh norma dan aturan tak tertulis yang menghambat penerapan sains terbuka. Salah satu pelanggaran etika yang sering muncul adalah data dredging, yakni upaya menambah ukuran sampel atau memanipulasi model statistik[9] demi memperoleh hasil yang mendukung hipotesis.
Praktik ini rawan terjadi karena jurnal ilmiah cenderung lebih memublikasikan riset dengan temuan signifikan atau yang membuktikan hipotesis. Ini merupakan gejala yang dikenal sebagai bias publikasi (publication bias).
Akibatnya, para peneliti mengakali ukuran sampel atau model statistik demi menghindari gagal publikasi.
Hambatan lainnya dapat muncul karena banyak institusi penelitian dan universitas mensyaratkan lewat kuantitas publikasi artikel tertentu[10] untuk promosi jabatan atau pemberian insentif.
Pengukuran promosi atau insentif seperti ini berpotensi membuat peneliti mengerjakan riset yang mudah dan cepat. Orientasi kuantitas penelitian (produktivitas), apalagi yang pengerjaanya cepat dan publikasinya ringkas, kerap mengorbankan kualitas dan etika riset.
Alhasil, peneliti seakan-akan dituntut memproduksi banyak studi dalam waktu singkat, serta dalam bentuk artikel pendek yang mudah dicerna (bite-size science)[11].
Masalahnya di sini bukan pada format artikelnya yang ringkas, melainkan pada spirit produksinya yang serba cepat. Praktik ini bertentangan dengan semangat kredibilitas sains yang menekankan penelitian matang, terdokumentasi dengan baik, dan terbuka untuk replikasi. Penelitian seperti ini biasanya berjalan lebih lambat.
Yang perlu diperbaiki bukan sekadar panjang-pendek artikel, melainkan orientasi sistem penilaian, dari sekadar menghasilkan banyak publikasi cepat menjadi mendorong penelitian yang lebih mendalam, transparan, dan dapat dipercaya.
Fokus utama bukan kuantitas publikasi, melainkan kontribusi dan dampak penelitian tersebut[12].
Read more: Efek kobra, dosen Indonesia terobsesi pada indeks Scopus dan praktik tercela menuju universitas kelas dunia[13]
Pentingnya ekosistem penelitian sains terbuka
Apabila ekosistem riset, baik di tingkat institusi maupun penerbit ilmiah, belum menyediakan ruang memadai bagi praktik sains terbuka, maka kesadaran individu terhadap etika penelitian saja tidak akan cukup.
Kita membutuhkan perubahan mendasar dalam norma dan budaya penelitian[15], termasuk menggalakkan sistem insentif dan promosi jabatan akademis berdasarkan kualitas riset dan penerapan sains terbuka, bukan sekadar kuantitas publikasi atau metrik kutipan semata[16].
Peraih Nobel Kedokteran 2025 Mary E. Brunkow[17] membuktikan bahwa jumlah publikasi tidak selalu berbanding lurus dengan nilai ilmiah dan kebermanfaatannya.
Hanya dengan 34 publikasi yang matang, Mary Brunkow sukses mengubah cara kita memahami sistem kekebalan tubuh manusia (immune system).
Sayangnya, obsesi terhadap produktivitas justru mendorong sebagian peneliti memilih jalan pintas demi mengejar reputasi akademis.
References
- ^ Penelitian tahun 2024 (www.tandfonline.com)
- ^ Riset temukan masyarakat cenderung toleran terhadap korupsi. Ini mempersulit pemberantasannya (theconversation.com)
- ^ empat nilai utama: universalisme, komunalisme, ketidakberpihakan, dan skeptisisme (www.journals.uchicago.edu)
- ^ Penelitian tahun 2011 (pubmed.ncbi.nlm.nih.gov)
- ^ gagal mengonfirmasi temuannya (www.theguardian.com)
- ^ bias analisis (pmc.ncbi.nlm.nih.gov)
- ^ mewujudkan nilai-nilai universalisme, komunalisme, ketidakberpihakan, dan skeptisisme tersebut (linkinghub.elsevier.com)
- ^ Mengapa sains terbuka dapat meningkatkan komunikasi sains dan memperkuat literasi publik di Indonesia (theconversation.com)
- ^ memanipulasi model statistik (theconversation.com)
- ^ lewat kuantitas publikasi artikel tertentu (lldikti3.kemdikbud.go.id)
- ^ (bite-size science) (www.nytimes.com)
- ^ kontribusi dan dampak penelitian tersebut (www.nature.com)
- ^ Efek kobra, dosen Indonesia terobsesi pada indeks Scopus dan praktik tercela menuju universitas kelas dunia (theconversation.com)
- ^ Iurii Motov/shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ perubahan mendasar dalam norma dan budaya penelitian (nature.com)
- ^ bukan sekadar kuantitas publikasi atau metrik kutipan semata (www.nature.com)
- ^ Peraih Nobel Kedokteran 2025 Mary E. Brunkow (theconversation.com)
Authors: Abdul Hadi, Junior Researcher, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya




