Riset: Pensiun dini PLTU batubara justru berdampak positif bagi perekonomian nasional
- Written by Fiorentina Refani, Director of Socio-Bioeconomy Studies, Center of Economic and Law Studies (CELIOS)
● Pemerintah sesat arah jika menganggap memensiunkan PLTU batu bara lebih banyak ruginya daripada faedahnya.
● Riset membuktikan bahwa mengakhiri PLTU justru lebih bermanfaat ketimbang merugikan.
● Ada kerugian ribuan triliun yang menyentuh jutaan pekerja akibat lestarinya PLTU batu bara dalam jangka panjang.
Pemerintah nampaknya enggan berkomitmen penuh untuk mengurangi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Hingga penghujung 2024, 67% produksi listrik Indonesia[1] masih bergantung pada batu bara yang padat karbon sebagai bahan bakarnya.
Alih-alih menentukan rencana strategis yang terencana dan terukur, Pemerintah lebih senang memakai alasan ongkos pengakhiran PLTU mahal[2] dan menunggu kemurahan hati dunia.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia[3] berulang kali mengatakan PLTU batubara akan dipurnatugaskan bila ada opsi alternatif pinjaman murah yang sudah tersedia.
Bersamaan dengan itu, pensiun dini PLTU selalu dinarasikan terlalu berisiko[4] untuk ketahanan energi serta berpotensi membebani perekonomian.
Padahal, kita tengah dihadapkan pada berbagai bencana akibat perubahan iklim. Saat ini kenaikan suhu dunia tercatat sudah melampaui “titik kritis” 1,5°C[5] seperti termuat dalam [Perjanjian Paris].
Artinya, kita sudah melewati batas etis dan ilmiah untuk mencegah kerusakan ekosistem yang dapat dipulihkan.
Akan tetapi, bagaimana jika mengakhiri PLTU yang kerap digadang merugikan negara justru menjadi solusi untuk menyelamatkan perekonomian nasional?
Berikut kajian[7] kami di Center of Economic and Law Studies (CELIOS), berkolaborasi dengan Trend Asia dan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA).
Dampak negatif PLTU batu bara
Anggapan seputar PLTU batu bara memberikan banyak efek positif nyatanya salah. Kami justru menemukan hal sebaliknya.
PLTU batubara malah terbukti memberikan efek negatif multidimensi bagi semua kelompok masyarakat, tak terkecuali pemerintah.
1. Membebani kas negara
Tarif listrik yang tergolong murah dirasakan masyarakat sebenarnya disokong subsidi batubara melalui skema Domestic Market Obligation sejak 2018. Artinya, pemerintah menahan harga batubara untuk kebutuhan listrik pada angka US$70 per ton[8] atau senilai Rp1,1 juta.
Alhasil, pemerintah harus menanggung biaya ekstra jika terjadi fluktuasi harga. Per akhir pekan lalu saja, harga batubara dunia[9] ada di kisaran US$108/ton atau senilai Rp1,7 juta.
Saat ini besaran kucuran subsidi DMO dipatok seharga US$70/ton. Karena itu, meskipun harga tarif listrik nasional tergolong murah, di baliknya ada peran gelontoran triliunan rupiah subsidi dari duit rakyat.
Read more: Membaca 'second NDC': Apa jadinya kalau target iklim menyesuaikan pertumbuhan ekonomi?[10]
Meskipun tidak secara langsung, alokasi DMO ini berhubungan erat dengan beban gelontoran subsidi listrik yang terus mengalami kenaikan tiap tahunnya. Ini tak lepas dari porsi batu bara yang mendominasi bahan bakar pembangkit listrik PT PLN.
Tahun ini subsidi listrik[11] menembus Rp87,7 triliun dan akan meningkat menjadi Rp104 triliun di tahun 2026.
2. Membebani ekonomi masyarakat
Di balik murahnya biaya produksi listrik PLTU batu bara, ada beragam dampak eksternal yang kerap diabaikan dalam perhitungan biaya energi.
Metode Analytical Hierarchy Process[12] dalam kajian peta jalan pengurangan PLTU batu bara, misalnya, tidak menempatkan perlindungan lingkungan dan kesehatan masyarakat sebagai prioritas.
Ini terlihat dari aspek lingkungan, seperti emisi gas rumah kaca dan faktor transisi energi, hanya diberi bobot masing-masing 9,3% dan 10,1%[13]. Bobot terbesar ada pada variabel “ketersediaan dukungan pendanaan” yang berporsi 27,1%.
Sementara itu, studi kami terhadap 20 PLTU paling berbahaya[14] mencoba memperluas penilaian tidak hanya didasarkan pada dukungan dana, tetapi juga mencakup emisi yang dilepaskan, potensi kematian, fragmentasi sosial, serta kerugian ekonomi yang mungkin muncul.
Kajian terhadap 20 PLTU di jaringan Sumatera, Jawa, dan Bali menunjukkan bahwa operasi PLTU tidak hanya merusak level makroekonomi, tetapi juga kinerja sektor-sektor strategis yang menjadi tumpuan ekonomi masyarakat.
Kami juga menemukan pembangkit-pembangkit tersebut mengakibatkan 1,45 juta orang kehilangan pekerjaan. Mayoritas korban menggantungkan hidup pada sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan yang rusak akibat pencemaran lingkungan dari PLTU.
Penurunan produktivitas akibat beroperasinya PLTU ini menyentuh angka kehilangan perputaran uang di masyarakat sebesar Rp48,4 triliun setiap tahun.
Read more: Setelah kesepakatan IEU-CEPA: Bagaimana Indonesia mengejar standar lingkungan dan HAM untuk bisa ekspor ke Uni Eropa?[15]
3. Membebani kesehatan masyarakat
Melalui riset ini, kami mendapati kadar polusi dari cerobong PLTU diproyeksikan menyebabkan 156 ribu kematian dini[16]. Hal tersebut selaras dengan terjadinya tren kenaikan paparan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di kota-kota besar belakangan ini.
Selain itu, secara kumulatif juga akan ada 84 ribu kasus asma baru pada anak-anak dan lonjakan orang berobat ke rumah sakit akibat asma.
Dinas Kesehatan Jakarta mencatat total 1,9 juta kasus ISPA[17] sejak Januari hingga Oktober 2025. Salah satu penyebab dari ISPA yakni cemaran polutan lintas batas dari PLTU batu bara di sekitar Jakarta.
Pendekatan multidimensi ini menyoroti bahwa bahaya PLTU batu bara jauh melampaui isu iklim semata, tetapi juga menyangkut kualitas hidup, beban kesehatan publik, dan biaya sosial yang selama ini tidak dihitung dalam perencanaan energi nasional.
Read more: Alasan mengapa batu bara perlu adopsi skema kontrak bagi hasil migas untuk menambah pemasukan negara[18]
Dengan membaca tren tersebut, kami mendapati memensiunkan PLTU batu bara artinya bukan hanya menyelamatkan nyawa, tetapi juga menghemat Rp1.813 triliun anggaran negara dari penanggulangan dampak kesehatan secara keseluruhan.
Salah arah pola pikir pemerintah
Untuk mempercepat pensiun dini PLTU batu bara, Indonesia memerlukan perubahan paradigma dalam kebijakan energi nasional.
Pemensiunan PLTU tidak semestinya dipandang sebagai kerugian, melainkan sebagai investasi jangka panjang bagi keberlanjutan ekonomi dan lingkungan.
Perlu ada inisiatif politik yang kuat dari pemerintah untuk menyiapkan strategi pengalihan tenaga kerja agar proses transisi tidak menimbulkan lonjakan pengangguran.
Tentunya pemerintah juga perlu memastikan terlebih dahulu nasib 43 ribu orang yang bekerja di pertambangan batu bara[19] dan 32 ribu orang pekerja PLTU[20].
Komitmen pengurangan emisi perlu selaras dengan cita-cita pengurangan ketimpangan sosial. Tanpa perencanaan yang hati-hati, masyarakat berpotensi kembali menanggung dampak ganda dari kebijakan ini.
Read more: 6 cara melepas jerat batu bara Indonesia secara bertahap[21]
References
- ^ 67% produksi listrik Indonesia (www.minerba.esdm.go.id)
- ^ ongkos pengakhiran PLTU mahal (www.cnnindonesia.com)
- ^ Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia (www.tempo.co)
- ^ terlalu berisiko (www.bloombergtechnoz.com)
- ^ melampaui “titik kritis” 1,5°C (theconversation.com)
- ^ MetalicaNanno/ Shutterstock.com (www.shutterstock.com)
- ^ kajian (toxic20.org)
- ^ US$70 per ton (ekonomi.bisnis.com)
- ^ harga batubara dunia (www.cnbcindonesia.com)
- ^ Membaca 'second NDC': Apa jadinya kalau target iklim menyesuaikan pertumbuhan ekonomi? (theconversation.com)
- ^ subsidi listrik (www.tempo.co)
- ^ Analytical Hierarchy Process (celios.co.id)
- ^ 9,3% dan 10,1% (celios.co.id)
- ^ studi kami terhadap 20 PLTU paling berbahaya (toxic20.org)
- ^ Setelah kesepakatan IEU-CEPA: Bagaimana Indonesia mengejar standar lingkungan dan HAM untuk bisa ekspor ke Uni Eropa? (theconversation.com)
- ^ 156 ribu kematian dini (toxic20.org)
- ^ 1,9 juta kasus ISPA (rsudtp.acehbaratdayakab.go.id)
- ^ Alasan mengapa batu bara perlu adopsi skema kontrak bagi hasil migas untuk menambah pemasukan negara (theconversation.com)
- ^ 43 ribu orang yang bekerja di pertambangan batu bara (www.esdm.go.id)
- ^ 32 ribu orang pekerja PLTU (www.liputan6.com)
- ^ 6 cara melepas jerat batu bara Indonesia secara bertahap (theconversation.com)
Authors: Fiorentina Refani, Director of Socio-Bioeconomy Studies, Center of Economic and Law Studies (CELIOS)




