Politisasi bencana: Jalan pintas elite dapat panggung, publik jangan terbuai
- Written by Wawan Kurniawan, Peneliti di Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia, Universitas Indonesia
● Pejabat dan elite kerap memanfaatkan bencana sebagai panggung politik.
● Dalam situasi trauma, korban bencana cenderung mudah terharu akan bantuan instan.
● Peran masyarakat yang kritis dan berkesadaran menjadi kunci untuk memutus siklus politisasi bencana.
Bencana kerap dipahami semata sebagai tragedi alam yang membawa kehancuran dan kehilangan. Namun, di Indonesia, bencana juga dapat menjelma sebagai panggung politik yang megah.[1]
Ketika masyarakat berada dalam kondisi duka, takut, dan rentan, para pejabat dan elite politik berlomba-lomba mencari kesempatan untuk hadir—tampil paling cepat, membawa bantuan instan, senyum empatik, dan sorotan kamera[2].
Bantuan instan lalu berfungsi sebagai jalan pintas psikologis untuk membangun kepercayaan, sementara kamera dan liputan media memperkuat narasi kepemimpinan personal.
Empati diproduksi sebagai pertunjukan, sementara akar persoalan dikesampingkan. Penderitaan kolektif korban dimanfaatkan oleh elite sebagai sumber legitimasi politik.
Dalam kondisi ini, bencana pun menciptakan kondisi afektif kolektif[3] yang ditandai oleh keterkejutan, ketergantungan, dan kebutuhan mendesak akan rasa aman.
Pada fase ini, publik cenderung menggunakan heuristic emotional[4], yakni menilai kepedulian dan kompetensi pemimpin bukan dari kebijakan atau rekam jejak, melainkan dari kehadiran simbolik yang tampak dekat dan peduli.
Kondisi ini dapat dijelaskan secara ilmiah. Pertama, adanya moral licensing[5] di pihak politikus. Kondisi ini terjadi ketika seseorang merasa berhak melakukan penyimpangan lantaran telah melakukan perbuatan baik sebelumnya—seolah dia telah membayar keperluan moralnya.
Kedua, muncul affect heuristic[6] di pihak publik (korban), yakni simpati dan rasa terharu.
Kedua konsep ini saling menguatkan sehingga membentuk lingkaran setan yang hampir sempurna.
Kondisi ini membuat relasi negara dengan warga jadi menyempit, hanya tentang figur dengan korban. Pertanyaan struktural tentang pencegahan, mitigasi, dan tanggung jawab kebijakan kemudian meredup.
Jalan pintas politikus
Konsep moral licensing[7] adalah kecenderungan individu—dalam kasus ini para pejabat—merasa telah menunaikan kewajiban moral setelah melakukan satu tindakan “baik"—seolah-olah mereka memperoleh "kredit moral”[8]. Ini memungkinkan individu tersebut untuk mengabaikan atau menunda tanggung jawab yang lebih besar.
Dalam konteks bencana, distribusi bantuan simbolik berfungsi sebagai lisensi psikologis bagi para elite untuk menunda, bahkan mengabaikan, reformasi struktural yang seharusnya mereka lakukan. Ini termasuk penegakan hukum terhadap deforestasi, audit anggaran mitigasi, atau perbaikan infrastruktur kritis.
Read more: Waspada terjebak pencitraan: keluarga harmonis politikus bukan penentu kualitas kepemimpinan politik[9]
Bagi seorang politikus yang sedang mengejar atau mempertahankan kekuasaan, bencana alam adalah jalan pintas paling efisien dan paling murah menuju hati pemilih.
Hasil penelitian[10] pada data Jepang tahun 2024 menunjukkan bahwa bantuan pasca-bencana (disaster relief) berkontribusi meningkatkan share suara partai pemerintahan. Ketika bantuan per kapita meningkat dari nol ke rata-rata, suara partai pemerintah naik 2,8–5,4 poin[11].
Politikus atau pejabat tidak perlu menunggu lima tahun membangun sekolah, rumah sakit, atau bendungan yang benar-benar kuat. Mereka cukup hadir di lokasi banjir, memakai sepatu bot, menggendong satu karung beras, lalu disorot berbagai kamera sudah cukup bagi mereka.
Kondisi ini membuat mereka lupa untuk benar-benar mencegah bencana karena merasa berhasil untuk terlihat peduli.
Pada saat yang sama, publik pun terjebak dalam affect heuristic[12] yang kemudian menjadi dasar penilaian politik. Ini membuat publik seakan lupa mengevaluasi kebijakan dan kinerja nyata para pejabat.
Dalam kondisi krisis kolektif yang ditandai oleh ketidakpastian dan trauma emosional, publik mengandalkan penilaian berbasis afeksi daripada analisis kognitif yang sistematis.
Kehadiran figur politik di tengah penderitaan menghasilkan asosiasi emosional positif yang kuat, yang kemudian digeneralisasikan ke seluruh domain kompetensi dan integritas (halo effect).
Akibatnya, evaluasi penilaian atas rekam jejak terhadap kinerja pencegahan bencana menjadi terpinggirkan oleh kesan emosional sesaat.
Interaksi kedua mekanisme ini menghasilkan insentif elektoral yang terdistorsi: aktor politik secara rasional memilih strategi visibilitas tinggi dan biaya rendah (seperti respons pascabencana) ketimbang strategi visibilitas rendah dan biaya tinggi (contohnya investasi pencegahan).
Masyarakat kritis dan berkesadaran
Dalam situasi seperti ini, peran masyarakat yang kritis dan berkesadaran menjadi kunci untuk memutus siklus politisasi bencana.
Situasi ini[13] menunjukkan bahwa emosi kolektif yang kuat cenderung menurunkan kewaspadaan kritis, yakni kewaspadaan kognitif dalam menilai niat dan kepentingan aktor berkuasa.
Publik harus menyadari bahwa empati terhadap korban atau bantuan instan saja tidak cukup. Kita harus mempunyai kemampuan membedakan antara kepedulian simbolik dan tanggung jawab struktural.
Read more: Kenapa donasi banjir Sumatra dari 'influencer' cepat meraup dukungan publik?[14]
Masyarakat yang berkesadaran mampu melampaui penilaian berbasis figur dan mulai menuntut akuntabilitas kebijakan. Dalam kerangka system justification theory[15] atau justifikasi pembenaran, kecenderungan memaklumi bencana sebagai “takdir” perlu dilawan dengan literasi kritis yang menempatkan bencana sebagai konsekuensi dari pilihan-pilihan politik.
Kesadaran ini akan dapat menggeser fokus dari “siapa yang datang memberi bantuan” ke “kebijakan apa yang gagal dan harus diperbaiki”.
Kesadaran kolektif juga berfungsi sebagai penangkal empathy manipulation (manipulasi empati), ketika emosi publik sengaja diarahkan untuk meredam kritik.
Masyarakat kritis tidak menolak empati. Mereka hanya tidak ingin empati digunakan untuk membungkam pertanyaan.
Dalam konteks Banjir Sumatra, empati justru harus menjadi pintu masuk bagi tuntutan perubahan: penguatan sistem peringatan dini, tata kelola lingkungan yang berkelanjutan, serta kesiapsiagaan negara yang tidak bergantung pada figur elite.
Warga bisa bersama-sama menghilangkan politik bencana dengan “menghilangkan” panggungnya, yakni dengan cara tidak lagi terpukau oleh gestur sesaat, melainkan konsisten menagih tanggung jawab jangka panjang.
Di titik itulah empati kembali menjadi nilai kemanusiaan, bukan alat legitimasi, dan bencana dipahami bukan sebagai ajang pencitraan, melainkan sebagai cermin kegagalan yang harus dikoreksi bersama.
Read more: Mengapa rakyat pantas marah? Melihat protes sosial dari kacamata persoalan banjir di Indonesia[16]
References
- ^ politik yang megah. (www.tempo.co)
- ^ dan sorotan kamera (www.tempo.co)
- ^ afektif kolektif (compass.onlinelibrary.wiley.com)
- ^ heuristic emotional (www.sciencedirect.com)
- ^ moral licensing (journals.sagepub.com)
- ^ affect heuristic (www.sciencedirect.com)
- ^ moral licensing (journals.sagepub.com)
- ^ "kredit moral” (psycnet.apa.org)
- ^ Waspada terjebak pencitraan: keluarga harmonis politikus bukan penentu kualitas kepemimpinan politik (theconversation.com)
- ^ penelitian (link.springer.com)
- ^ suara partai pemerintah naik 2,8–5,4 poin (link.springer.com)
- ^ affect heuristic (onlinelibrary.wiley.com)
- ^ Situasi ini (academic.oup.com)
- ^ Kenapa donasi banjir Sumatra dari 'influencer' cepat meraup dukungan publik? (theconversation.com)
- ^ system justification theory (psycnet.apa.org)
- ^ Mengapa rakyat pantas marah? Melihat protes sosial dari kacamata persoalan banjir di Indonesia (theconversation.com)
Authors: Wawan Kurniawan, Peneliti di Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia, Universitas Indonesia




