Penipuan WO Ayu Puspita mirip skema Ponzi, masyarakat perlu waspada
- Written by Teresia Angelia Kusumahadi, Lecturer, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
● Pemilik ‘wedding organizer’ atau WO Ayu Puspita jadi tersangka penipuan senilai Rp16 miliar.
● Modus WO Ayu Puspita mirip skema Ponzi yang merugikan konsumen.
● Ada tiga hal yang bisa dilakukan masyarakat untuk menghindari skema ini.
Baru-baru ini kasus penipuan[1] atau scam yang dilakukan sebuah wedding organizer (WO) bernama @byayupuspitaa[2] di Jakarta sedang marak diperbincangkan.
Momen pernikahan 87 pasangan calon pengantin yang seharusnya membahagiakan, berubah jadi salah satu momen paling memalukan. Bagaimana tidak, di tengah acara, pengantin dan seluruh keluarga terkait harus cari makanan untuk para tamu. Semua karena katering yang sudah dipesan tidak datang.
Padahal, para calon pengantin sudah membayar lunas pesanannya. Kini, pemilik WO yang bernama Ayu Puspita menjadi tersangka bersama orang lainnya berinisial D.
Kasus penipuan WO Ayu Puspita mencerminkan bisnis yang mirip dengan skema investasi Ponzi[3]. Jika ditambah manajemen keuangan yang buruk dari pelaku, penipuan ini akhirnya memperparah kerugian konsumen.
Di tengah tingginya minat publik akan jasa WO murah, kasus seperti berisiko terus mengintai masyarakat.
Mengapa mirip Ponzi?
Bisnis yang dijalankan tersangka penipuan Ayu Puspita melalui WO-nya bisa dikatakan mirip dengan skema Ponzi karena menerapkan prinsip yang sama: gali lubang tutup lubang.
Maksudnya, pelaku menggunakan uang konsumen untuk keperluan pribadi. Pelaku akan melaksanakan kewajiban bisnisnya (misalnya membayar imbal hasil investasi ataupun membayar vendor pernikahan) dengan uang konsumen lainnya.
Bedanya, dalam kasus WO ini, keuntungan yang dijanjikan pelaku adalah jasa WO—bukan imbal hasil investasi.
Nah, dalam kasus WO Ayu Puspita, modusnya adalah penawaran layanan dengan harga promo[4] menggiurkan.
Sebenarnya aktivasi promosi tidak salah. Promo merupakan salah satu cara sebuah entitas memikat konsumen dan penanda sektor bisnis tersebut kompetitif antar pemainnya.
Persaingan bisnis yang sehat[5] akan memicu kompetisi pelayanan dan harga sehingga berdampak positif kepada konsumen.
Sayangnya, setelah berhasil meminat banyak konsumen, Ayu Puspita tidak mengelola uang pelanggan dengan baik. Padahal, cash flow usaha Ayu sebenarnya sehat karena para calon pengantin harus membayar secara penuh.
Alhasil, pelayanan jasa macet. Sebab, uang konsumen setidaknya senilai Rp16 miliar yang seharusnya diputar untuk melaksanakan kewajibannya justru dipakai untuk kebutuhan pribadi seperti membeli rumah harga miliaran rupiah[6].
Untuk menutup kewajibannya, Ayu Puspita mengandalkan uang pelanggan baru. Tapi karena lebih besar pasak dari pada tiang, skema gali lubang tutup lubangnya akhirnya macet dan menyebabkan gagal bayar kepada pihak terkait, termasuk vendor rekanan.
Read more: PERMA: Tip alternatif mengelola keuangan[7]
Manajemen keuangan yang buruk kerap jadi penyebab utama terbongkarnya kejahatan para pelaku skema Ponzi. Kasus Ayu Puspita sedikit banyak mirip dengan Andika Surachman, dalang kasus penipuan First Travel[8].
Tahun 2017 lalu, ada 63.310 calon jemaah umrah yang tergiur akan harga promo yang ditawarkan First Travel. Ketimbang menjamin keberangkatan calon jemaah, Andika justru mengambil gaji selangit dan menghamburkan himpunan uang calon jemaah untuk kehidupan mewahnya[9]. Nilai kerugian kasus ini sangat besar, hingga Rp 905 miliar.
Ragam bentuk penipuan Ponzi yang mengintai
Penipuan yang dilakukan WO Ayu Puspita (2025) dan Andika Surachman (2017) hanya salah satu dari sekian banyak ragam skema ponzi yang bisa dimodifikasi sedemikian rupa[10] untuk memikat masyarakat.
Read more: 7 kiat mengelola keuangan pasutri muda: Siapa yang lebih dominan?[11]
Sialnya, bentuk skema Ponzi di era modern sudah sangat beragam. Awalnya, skema Ponzi dimulai oleh seorang penipu bernama Charles Ponzi[12] asal Amerika Serikat dengan cara yang amat sederhana dengan mengajak banyak orang untuk berinvestasi perangko dengan iming-iming pengembalian uang dan profit.
Seiring berjalannya waktu, skema tersebut mengalami inovasi. Salah satunya adalah dengan teknik MLM atau multilevel marketing. Kasus penipuan MLM juga sering kali disebut dengan skema piramida[13].
Tidak hanyak modus MLM, praktik money game ini juga menyentuh ranah digital di era media sosial ini. Salah satunya adalah praktik mendapatkan uang melalui aplikasi Tiktok E-Cash[14] yang terjadi beberapa tahun lalu.
Praktik ilegal tersebut mendorong pengguna untuk membeli sejumlah paket keanggotaan yang dapat menghadirkan keuntungan ekonomi dengan hanya menonton dan memberikan like pada video-video di aplikasi tersebut.
Karena itu, perlu kolaborasi semua pemangku kepentingan untuk mencegah masyarakat bisa terhindar dari penipuan ini melalui edukasi, pengetatan pangawasan bisnis, dan tindakan hukum yang tegas.
Read more: Waspada penipuan kripto bermodus kecanggihan teknologi dan psikologi[15]
Agar terhindar jebakan ponzi serupa
Ada beberapa cara yang bisa kita lakukan untuk menghindari kasus penipuan[16] seperti WO Ayu Puspita.
Jangan mudah tergiur dengan promosi pemasaran tanpa melakukan kroscek, terutama jika nominal yang harus dikeluarkan dalam jumlah besar.
Biasakan untuk melihat kredibilitas dan rekam jejak perusahaan terlebih dahulu. Tidak ada salahnya konsumen membayar layanan lebih mahal asal mendapat jaminan dan kredibilitas dari penyedia layanan.
Kita juga tidak boleh mudah terlena dengan figur publik atau nama besar yang mempromosikan kasus tersebut. Banyak pelaku skema ponzi yang melibatkan nama besar agar terlihat meyakinkan.
Pastikan semua layanan, syarat dan ketentuan dituliskan secara rinci dalam bentuk surat perjanjian. Jangan lupa melihat atau mencari tahu perihal konsekuensi hukum apabila kewajiban WO tidak dipenuhi.
Read more: 'Degrowth': Melawan industrialisasi dan konsumsi berlebihan demi masa depan yang berkelanjutan[17]
Ini terutama untuk layanan serupa wedding organizer. Usahakan untuk mencari vendor yang memakai ketentuan pembayaran berkala. Jadi, para pengguna jasa bisa melihat hasil kerja, baru kemudian melunasinya saat pekerjaan selesai.
Dalam kasus penipuan investasi seperti skema ponzi atau piramida lainnya, kita harus ingat prinsip investasi yang utama: high return comes with high risk[18].
Namun, untuk sektor jasa sejenis WO, konsep risikonya bisa diterjemahkan semakin murah harga yang ditawarkan, semakin tinggi juga risiko yang bisa didapat.
Artinya, tidak ada keuntungan besar tanpa risiko. Dengan meningkatkan rasa skeptis ketika berhadapan dengan promosi investasi/produk jasa yang mencurigakan, kita sebenarnya sudah memasang garda supaya tidak terjebak.
References
- ^ penipuan (www.bisnis.com)
- ^ @byayupuspitaa (www.instagram.com)
- ^ investasi Ponzi (theconversation.com)
- ^ penawaran layanan dengan harga promo (megapolitan.kompas.com)
- ^ Persaingan bisnis yang sehat (kppu.go.id)
- ^ rumah harga miliaran rupiah (megapolitan.kompas.com)
- ^ PERMA: Tip alternatif mengelola keuangan (theconversation.com)
- ^ First Travel (www.hukumonline.com)
- ^ menghamburkan himpunan uang calon jemaah untuk kehidupan mewahnya (www.hukumonline.com)
- ^ dimodifikasi sedemikian rupa (ejournal.undiksha.ac.id)
- ^ 7 kiat mengelola keuangan pasutri muda: Siapa yang lebih dominan? (theconversation.com)
- ^ Charles Ponzi (www.archives.gov)
- ^ skema piramida (www.hukumonline.com)
- ^ Tiktok E-Cash (www.researchgate.net)
- ^ Waspada penipuan kripto bermodus kecanggihan teknologi dan psikologi (theconversation.com)
- ^ menghindari kasus penipuan (digitalcommons.sacredheart.edu)
- ^ 'Degrowth': Melawan industrialisasi dan konsumsi berlebihan demi masa depan yang berkelanjutan (theconversation.com)
- ^ high return comes with high risk (www.ocbc.id)
Authors: Teresia Angelia Kusumahadi, Lecturer, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya




