TikTok dan algoritma kian jumawa: Apa kabar seni tradisional kita?
- Written by Resya Arva Vradana, Podcast Producer, The Conversation
Tahun 2025 hampir berakhir. Jika kita menengok ke belakang, lanskap media kita telah berubah total. Dominasi TV dan radio di tahun 2000-an kini digantikan oleh kekuasaan algoritma YouTube, Spotify, dan terutama TikTok.
Namun, di tengah banjir konten joget dan meme, bagaimana nasib seni dan budaya tradisional kita? Apakah mereka mampu bertahan, atau justru tergerus oleh video pendek?
Dalam episode SuarAkademia kali ini, The Conversation Indonesia berbincang dengan Muhammad Rayhan Sudrajat, Etnomusikolog & Dosen dari Universitas Katolik Parahyangan tentang bagaimana TikTok & algoritma digital hari ini punya dampak besar terhadap ekosistem seni, baik modern maupun tradisional.
Rayhan menjelaskan bahwa algoritma media sosial ibarat jendela baru yang memungkinkan kita mengintip beragam kekayaan budaya, seperti ritual kematian suku Toraja atau upacara Tiwah di Kalimantan Tengah. Namun, ia menyayangkan bagaimana durasi singkat demi mengejar retensi penonton sering memangkas konteks sakral dari sebuah ritual yang panjang dan penuh filosofi.
Menurutnya, hal ini membuat audiens hanya menikmati kulit luarnya sebagai tontonan eksotis, sementara esensi spiritualnya hilang tergerus format.
Rayhan menambahkan, ambisi mengejar insentif monetisasi dari platform raksasa membuat para konten kreator terjebak dalam perilaku “latah” atau meniru apa yang sedang ramai. Ia melihat adanya risiko homogenisasi budaya, di mana algoritma hanya menyuguhkan ulang apa yang populer dan memiliki daya tarik kuat.
Rayhan mengingatkan bahwa kondisi ini berbahaya bagi keragaman, karena tradisi yang lebih sunyi atau niche perlahan tenggelam dan tidak terekspos hanya karena dianggap “tidak menjual” oleh sistem.
Selain itu, Rayhan juga menyinggung fenomena viralnya “Pacu Jalur” sebagai bukti kekuatan atensi digital. Namun, ia menegaskan bahwa viralitas hanyalah pintu gerbang awal, bukan tujuan akhir. Tanpa strategi call to action yang jelas, Rayhan menilai gelombang atensi itu hanya akan menjadi buih sesaat tanpa dampak ekonomi yang berkelanjutan bagi warga lokal.
Dalam pandangan Rayhan, membebani seniman tradisi dengan tuntutan teknis digital agar tetap relevan adalah hal yang kurang tepat. Ia justru menyarankan solusi kolaboratif: seniman fokus menjaga kualitas karya, sementara konten kreator atau pihak lain membantu pengemasan digitalnya.
Pembagian peran ini jauh lebih efektif daripada memaksa maestro seni mempelajari teknik editing yang rumit, yang sering kali justru membuat karya mereka terlihat kurang maksimal di media sosial.
Rayhan juga menyoroti stigma “kuno” yang sering disematkan anak muda pada seni tradisi dan berpendapat bahwa hal ini bisa dipatahkan lewat inovasi yang bermakna. Mengambil contoh musisi Dewa Budjana, Rayhan menekankan bahwa penggabungan elemen tradisi dengan musik modern tidak boleh sekadar menjadi “tempelan” atau kosmetik agar terlihat unik.
Baginya, kolaborasi yang berhasil harus didasari pemahaman mendalam tentang frekuensi dan filosofi alat musik tersebut, sehingga tercipta harmoni baru yang kaya.
Menutup diskusinya, Rayhan menekankan bahwa strategi paling krusial untuk menghadapi tahun 2045 adalah pengarsipan budaya atau pembuatan “Bank Data” yang sistematis. Ia mendorong pemerintah, akademisi, dan komunitas untuk berhenti melihat masa lalu sebagai hal usang, melainkan sebagai fondasi referensi bagi inovasi masa depan.
Tanpa arsip yang rapi, generasi mendatang akan kehilangan jejak identitas dan kesulitan mengembangkan seni tradisi yang berakar kuat.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi. Kamu bisa mendengarkan episode SuarAkademia lainnya yang terbit setiap pekan di Spotify, Youtube Music dan Apple Podcast.
Authors: Resya Arva Vradana, Podcast Producer, The Conversation
Read more https://theconversation.com/tiktok-dan-algoritma-kian-jumawa-apa-kabar-seni-tradisional-kita-272187




