Ingatan tsunami, ujian Senyar: Bagaimana memaksimalkan peran kampus dalam situasi bencana
- Written by Syamsidik, Direktur Tsunami and Disaster Mitigation Research Center, TDMRC, USK, Universitas Syiah Kuala
● Tsunami 2004 dan Siklon Senyar 2025 membuktikan bahwa kampus dapat berperan penting dalam situasi bencana.
● Universitas dipercaya publik karena sumber daya dan posisi gandanya sebagai korban sekaligus penolong.
● Negara perlu mengintegrasikan peran perguruan tinggi secara formal dalam sistem kebencanaan nasional.
Gempa bumi dan tsunami pada 26 Desember 2004 di Aceh membawa kesadaran baru bahwa kampus tidak hanya ruang kegiatan akademis semata, tapi juga ruang sosial tempat masyarakat dapat belajar memahami risiko, mempersiapkan diri[1], dan bangkit bersama setelah bencana.
Menyadari hal ini, Universitas Syiah Kuala (USK) di Aceh yang mengalami langsung dampak gempa, termasuk korban jiwa 111 dosen, 102 staf, dan 1.426 mahasiswa[2], mendirikan Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC)[3] pada 2006.
Ketika badai Senyar menghantam Sumatra akhir November kemarin[4], USK membentuk Satuan Tugas (Satgas) untuk Respons Senyar Aceh[5] dengan posko utama di Gedung TDMRC.
Di bawah koordinasi Satgas ini, kampus menerima dan menyalurkan bantuan dari berbagai perguruan tinggi di tingkat nasional serta mengirim relawan mahasiswa dan dosen untuk membuka akses agar bantuan dapat masuk ke wilayah yang terisolasi[6].
Tim medis USK juga memperkuat rumah sakit daerah yang kewalahan[7], memberikan layanan gawat darurat dan menangani operasi-operasi kritis di tengah keterbatasan tenaga, listrik, dan peralatan.
Sementara itu, tim lain bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan lembaga internasional untuk mendata pengungsi secara terpilah—misalnya berdasarkan jenis kelamin, kelompok usia, kondisi kesehatan, status kehamilan, disabilitas, serta mata pencaharian—sebagai fondasi penting untuk memastikan bantuan tiba lebih tepat dan sesuai kebutuhan di lapangan.
Ini membuktikan bahwa kampus bisa berperan bukan sekadar di tahap edukasi dan kesiapsiagaan bencana, tetapi juga pada fase tanggap darurat. Fase ini termasuk menjaga kesehatan masyarakat, memastikan anak-anak tetap mendapat ruang aman untuk belajar, membantu mahasiswa yang terdampak, dan menyiapkan pemulihan yang lebih panjang dari sekadar distribusi logistik.
Universitas bukan ‘superhero’, tapi lebih dipercaya
Berbagai kajian menunjukkan bahwa publik cenderung menaruh kepercayaan kepada universitas ketika berperan dalam situasi bencana—mulai dari menjadi tempat pengungsian, pusat distribusi logistik, hingga pusat informasi[8].
Kepercayaan ini bukan tanpa alasan. Universitas memiliki kombinasi sumber daya yang jarang dimiliki lembaga lain[9]: rumah sakit pendidikan dengan tenaga kesehatan terlatih, peneliti dan dosen yang memahami konteks lokal, mahasiswa yang siap terjun sebagai relawan, jejaring alumni dan mitra yang tersebar di berbagai daerah, serta reputasinya sebagai lembaga independen.
Read more: Kenapa donasi banjir Sumatra dari 'influencer' cepat meraup dukungan publik?[10]
Namun, universitas tentu bukan lembaga super. Saat badai menerjang, kampus juga merasakan dampak langsung: listrik padam berhari-hari, air bersih terganggu, dan aktivitas kuliah terhenti.
Mahasiswa juga menjadi salah satu kelompok paling rentan[11]. karena kiriman keluarga terputus, kesulitan mencari makanan, dan cemas karena tak dapat menghubungi sanak famili.
Dalam kondisi seperti itu, universitas berdiri di dua posisi sekaligus: sebagai penyintas, dan juga sebagai penolong. Di situlah kekuatan uniknya, kampus mengerti benar bagaimana rasanya menjadi korban, tapi sekaligus berkapasitas membantu orang lain agar bisa bangkit.
Negara perlu mengakui peran kampus
Pengalaman Tsunami 2004 dan Siklon Senyar 2025 menunjukkan bahwa universitas bisa menjadi pemain penting dalam manajemen bencana[12].
Selama ini, peran tersebut sering muncul secara ‘organik'—bergantung pada inisiatif kampus, jejaring personal dosen, atau spontanitas relawan.
Padahal, pemerintah bisa merancang skema untuk mengintegrasikan peran strategis kampus dalam sistem kebencanaan nasional.
Pertama, pemerintah bisa menempatkan universitas sebagai mitra resmi dalam desain kebencanaan nasional. Selama ini kita mempunyai kerangka hukum dan kelembagaan di BNPB–BPBD. Posisi perguruan tinggi sering kali hanya sebagai “mitra pendukung”.
Padahal, kampus bukan hanya simpul pengetahuan. Perannya bisa mencakup simpul data, tenaga kesehatan, hingga relawan.
Kedua, memfasilitasi jejaring perguruan tinggi untuk merespons bencana. Bencana banjir yang dipicu Siklon Senyar bulan lalu memperlihatkan bagaimana kampus-kampus bisa saling mendukung seperti membantu penggalangan dana, bantuan dan relawan.
Jika jejaring ini diformalkan menjadi sebuah jaringan nasional—di bawah koordinasi Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi bersama BNPB—maka ketika satu wilayah terdampak, kampus-kampus di provinsi lain sudah tahu peran masing-masing. Mereka sudah mengenali kanal komunikasi resmi yang mesti digunakan, dan mengupayakan dukungan anggaran dengan cepat.
Ketiga, menjadikan pendidikan kebencanaan di kampus sebagai bagian dari kesiapsiagaan[13] nasional.
Pengalaman pascabencana di Aceh menunjukkan bahwa pengetahuan yang tersimpan di universitas dapat masuk ke sekolah, desa, dan masyarakat jika memang dirancang sebagai bagian dari aktivitas kampus.
Keempat, menyiapkan protokol darurat khusus untuk mahasiswa sebagai kelompok rentan.
Kebijakan nasional kebencanaan biasanya menyebut “anak-anak, lansia, dan difabel,” sebagai kelompok prioritas. Padahal, di kota-kota yang memiliki banyak kampus, mahasiswa adalah kelompok yang jumlahnya besar. Mereka tinggal jauh dari keluarga, dan sangat terdampak ketika listrik, internet, bank, dan transportasi berhenti.
Kampus dan kementerian bisa bersama-sama menyusun panduan nasional: bagaimana melindungi mahasiswan ketika krisis, mulai dari dapur umum, komunikasi darurat, hingga dukungan psikososial.
Read more: Tanggap darurat atau gagap darurat? Absennya kepemimpinan bencana Banjir Sumatra[14]
Cerita-cerita dari posko TDMRC, dari jembatan putus di pegunungan, menyeberang sungai deras malam hari, dari ruang operasi di rumah sakit daerah, dari tenda-tenda pengungsian anak, sebenarnya bukan hanya kisah heroik relawan. Itu semua adalah sinyal bahwa sudah saatnya peran kampus lebih diakui dalam sistem kebencanaan Indonesia.
Karena pada akhirnya, ketika sirene berhenti dan berita utama berganti, kampuslah yang berpotensi tetap membersamai warga. Sebab, di sanalah pengetahuan disusun, pengalaman direfleksikan, dan masyarakat disiapkan agar tidak lagi gagap hidup bersama risiko.
References
- ^ tapi juga ruang sosial tempat masyarakat dapat belajar memahami risiko, mempersiapkan diri (link.springer.com)
- ^ korban jiwa 111 dosen, 102 staf, dan 1.426 mahasiswa (books.google.co.id)
- ^ mendirikan Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) (tdmrc.usk.ac.id)
- ^ badai Senyar menghantam Sumatra akhir November kemarin (www.bmkg.go.id)
- ^ Satuan Tugas (Satgas) untuk Respons Senyar Aceh (senyar-aceh.usk.ac.id)
- ^ membuka akses agar bantuan dapat masuk ke wilayah yang terisolasi (senyar-aceh.usk.ac.id)
- ^ rumah sakit daerah yang kewalahan (senyar-aceh.usk.ac.id)
- ^ tempat pengungsian, pusat distribusi logistik, hingga pusat informasi (www.sciencedirect.com)
- ^ Universitas memiliki kombinasi sumber daya yang jarang dimiliki lembaga lain (ieeexplore.ieee.org)
- ^ Kenapa donasi banjir Sumatra dari 'influencer' cepat meraup dukungan publik? (theconversation.com)
- ^ salah satu kelompok paling rentan (senyar-aceh.usk.ac.id)
- ^ pemain penting dalam manajemen bencana (link.springer.com)
- ^ bagian dari kesiapsiagaan (jurnal.usk.ac.id)
- ^ Tanggap darurat atau gagap darurat? Absennya kepemimpinan bencana Banjir Sumatra (theconversation.com)
Authors: Syamsidik, Direktur Tsunami and Disaster Mitigation Research Center, TDMRC, USK, Universitas Syiah Kuala




