Justifikasi agama hambat penghapusan sunat perempuan: Asia Tenggara perlu belajar dari Afrika
- Written by Nadira Irdiana, PhD Student, Monash University
● Sunat perempuan masih mengancam hak-hak perempuan di Asia Tenggara.
● Asia Tenggara bisa belajar dari Uni Afrika yang telah memprioritaskan penghapusan sunat perempuan dalam protokol regional mereka.
● Kolaborasi kuat antara negara Asia Tenggara sangat penting karena sunat perempuan merupakan isu kompleks.
Pemotongan/pelukaan genital perempuan (P2GP), atau yang biasanya disebut sunat perempuan di Indonesia, masih menjadi isu yang mengancam hak-hak perempuan.
Prosedur ini dilakukan dengan melukai atau mengangkat lipatan kulit sekitar klitoris atau bahkan klitoris itu sendiri. Hal ini membahayakan[1] bagi kesehatan fisik, mental maupun reproduksi dan seksual perempuan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)[2] telah mengklasifikasikan praktik ini sebagai bentuk mutilasi—dan ini melanggar HAM. Riset[3] pun menunjukkan bahwa sunat perempuan membawa dampak medis yang membahayakan, termasuk pendarahan, tetanus, nyeri yang berkepanjangan, kesulitan saat menstruasi, infeksi pada saluran kemih, dan komplikasi saat persalinan.
Sekitar 4,1 juta anak perempuan di seluruh dunia[4] telah disunat setiap tahun. Lebih dari satu juta kasusnya berasal dari Asia.
Data yang tersedia tentang sunat perempuan di Asia Tenggara masih terbatas. Namun, Indonesia mewakili sekitar 35%[5] dari semua kasus sunat perempuan yang terjadi di seluruh dunia.
Selain Indonesia, riset[6] menunjukkan bahwa sunat perempuan juga dilakukan di Malaysia, Thailand, Singapura, Filipina, dan Brunei Darussalam. Meski begitu, belum ada upaya regional yang dilakukan oleh pemerintah di negara-negara Asia Tenggara untuk mengatasi masalah ini.
Selain itu, negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, belum melarang semua jenis praktik sunat perempuan[7].
Meningkatnya tantangan di Asia Tenggara
Salah satu alasan mengapa pemerintah di Asia Tenggara enggan membuat sunat perempuan lebih terlihat dan tidak melarang praktik tersebut sepenuhnya adalah karena justifikasi dari lembaga-lembaga keagamaan.
Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM)[8], contohnya, meyakini bahwa sunat wajib bagi anak perempuan Muslim di Malaysia. Sementara Majelis Ulama Indonesia (MUI)[9] menyatakan bahwa praktik tersebut dianjurkan di Indonesia.
Pembenaran ini menghambat upaya untuk menegakkan hak-hak perempuan dan anak perempuan.
Padahal, ulama-ulama dan cendikiawan Muslim dunia[10] sudah melarang praktik sunat perempuan karena dampak-dampak negatif yang dihasilkannya. Begitu juga dengan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI)[11].
Sebagai satu-satunya negara di Asia Tenggara yang termasuk dalam Joint Programme UNICEF-UNFPA_, Indonesia menunjukkan pentingnya memiliki data untuk mendapatkan pendanaan bagi program-program pencegahan sunat perempuan.
Hal ini juga membantu pemerintah untuk menetapkan target mengurangi praktik sunat perempuan dari 46,3% ke 34,09% pada tahun selama 2024 - 2029 dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)[12].
Target ini memang langkah awal yang baik. Namun, Indonesia dan Asia Tenggara perlu belajar dari negara-negara Afrika yang menghadapi tantangan signifikan dalam mengatasi masalah sunat perempuan, meski telah memprioritaskan penghapusan masalah tersebut dalam protokol regional mereka[13].
Negara-negara Asia Tenggara memerlukan respons regional untuk memastikan penghapusan sunat perempuan selaras dengan HAM dan mendukung kesetaraan gender. Ada tiga aspek yang perlu diperhatikan untuk dalam pelaksanaannya.
1. Eksplisit dalam hukum dan kebijakan
Protokol Maputo[14] yang digagas oleh Uni Afrika menekankan pentingnya secara eksplisit menargetkan isu sunat perempuan dalam agenda yang lebih luas tentang perlindungan anak dan kesetaraan gender.
Beberapa negara di Afrika (Chad, Pantai Gading, Guinea, dan Somalia) telah secara eksplisit membahas sunat perempuan dalam konstitusi mereka[15]. Setengah dari negara-negara yang menandatangani Protokol Maputo memiliki strategi nasional[16] tentang penghapusan sunat perempuan. Sebanyak 20 negara mengkriminalisasi atau melarang praktik pemotongan alat kelamin perempuan ini melalui hukum[17].
Walau Protokol Maputo telah mencapai banyak hal, negara-negara dapat menyatakan keberatan terhadap berbagai pasal untuk mempertahankan kedaulatan mereka. Hal ini menunjukkan tantangan signifikan dalam menerapkan hukum regional.
ASEAN sendiri memiliki Kerangka Strategis Pengarusutamaan Gender[18]. Namun, kerangka tersebut belum memasukkan sunat perempuan sebagai isu prioritas eksplisit. Advokasi untuk memperluas kerangka kerja tersebut perlu mencakup fokus baru ini.
2. Dilakukan secara medis dan lintas negara
Sebuah publikasi baru-baru ini menunjukkan bahwa perawat, bidan, dan dokter[19] semakin banyak melakukan sunat perempuan di Asia Tenggara. Di kawasan ini, tingkat kasus sunat perempuan tertinggi[20] yang dilakukan secara medis terjadi di Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
Melakukan sunat perempuan di lembaga medis membuat praktik tersebut dianggap lebih aman. Klaim ini mungkin tidak benar, karena belum ada penelitian[21] yang menunjukkan bahwa strategi ini telah mengurangi dampak buruk sunat perempuan.
Persentase perempuan di Indonesia yang menjalani sunat sedikit lebih tinggi di daerah perkotaan daripada di daerah pedesaan[22]. Ini menandakan bahwa sunat perempuan yang dilakukan secara medis mungkin didorong oleh urbanisasi[23].
Seiring banyaknya negara yang melarang sunat perempuan, praktik lintas negara ini akan meningkat. Penelitian di Afrika Timur menunjukkan betapa merajalelanya praktik sunat perempuan yang dilakukan secara lintas negara. Ini mendorong mereka untuk menyusun East African Community (EAC) Elimination of FGM Bill[24].
Di Kenya, Tanzania, Uganda, Ethiopia, dan Somalia,[25] prevalensi rata-rata nasional sunat perempuan lebih rendah daripada di daerah perbatasan.
Belajar dari upaya Afrika Timur[26], negara-negara Asia Tenggara perlu bekerja sama guna menekan masalah praktik sunat perempuan lintas negara.
3. Mengubah kepercayaan yang membahayakan perempuan
Perlindungan hukum saja tidak pernah cukup. Penolakan terhadap advokasi hak-hak perempuan[27] telah terlihat di seluruh dunia. Sunat perempuan adalah manifestasi dari ketidaksetaraan gender di masyarakat, karena melanggengkan norma atau kepercayaan yang berbahaya bagi perempuan dan anak perempuan.
Namun, penelitian telah menunjukkan bahwa mengubah kepercayaan ini saja tidak akan cukup, dan lebih banyak yang perlu dilakukan untuk menciptakan perubahan perilaku[29].
Strategi Uni Afrika untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan[30] mengusulkan kampanye kontinental untuk menghilangkan praktik sunat perempuan di wilayah tersebut. Strategi serupa seharusnya juga dilakukan di Asia Tenggara.
Alih-alih mendukung praktik sunat perempuan yang dilakukan oleh tenaga medis profesional, Indonesia bersama negara-negara Asia Tenggara harus mempertimbangkan alternatif lain untuk membantu perempuan dan anak perempuan mengatasi masalah ini. Kita bisa menyediakan layanan bagi mereka yang menjadi korban atau rentan mengalami praktik sunat perempuan.
Kasus sunat perempuan sering kali menimbulkan komplikasi di lapangan karena penanganannya memerlukan upaya bersama dari berbagai sektor. Strategi regional yang menjabarkan rencana tindakan akan sangat penting dalam menghapuskan praktik ini di kawasan Asia Tenggara.
References
- ^ membahayakan (www.orchidproject.org)
- ^ Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) (www.unwomen.org)
- ^ Riset (conference.um.ac.id)
- ^ 4,1 juta anak perempuan di seluruh dunia (www.fgmcri.org)
- ^ 35% (www.fgmcri.org)
- ^ riset (equalitynow.org)
- ^ belum melarang semua jenis praktik sunat perempuan (www.fgmcri.org)
- ^ Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) (www.sciencedirect.com)
- ^ Majelis Ulama Indonesia (MUI) (mui.or.id)
- ^ ulama-ulama dan cendikiawan Muslim dunia (mubadalah.id)
- ^ Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) (www.inilah.com)
- ^ Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) (peraturan.bpk.go.id)
- ^ protokol regional mereka (www.endfgm.eu)
- ^ Protokol Maputo (www.endfgm.eu)
- ^ dalam konstitusi mereka (equalitynow.org)
- ^ strategi nasional (equalitynow.org)
- ^ hukum (equalitynow.org)
- ^ Kerangka Strategis Pengarusutamaan Gender (equalitynow.org)
- ^ perawat, bidan, dan dokter (equalitynow.org)
- ^ tingkat kasus sunat perempuan tertinggi (equalitynow.org)
- ^ belum ada penelitian (equalitynow.org)
- ^ di daerah perkotaan daripada di daerah pedesaan (indonesia.unfpa.org)
- ^ urbanisasi (equalitynow.org)
- ^ East African Community (EAC) Elimination of FGM Bill (equalitynow.org)
- ^ Kenya, Tanzania, Uganda, Ethiopia, dan Somalia, (www.unfpa.org)
- ^ upaya Afrika Timur (equalitynow.org)
- ^ Penolakan terhadap advokasi hak-hak perempuan (reliefweb.int)
- ^ Toto Santiko Budi/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ perubahan perilaku (journals.plos.org)
- ^ Strategi Uni Afrika untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (au.int)
Authors: Nadira Irdiana, PhD Student, Monash University





