Ngayogjazz: Konser jazz yang menguatkan desa dan komunitas lokal
- Written by Peny Meliaty Hutabarat, Dosen Tetap Program Studi Penyiaran Multimedia Vokasi Universitas Indonesia, Kandidat Doktor - Administrasi Bisnis FIA UI, Peneliti di bidang Pariwisata Musik (Music Tourism), Multiplatform dan Ekonomi Pengalaman (Experience Econom
● Ngayogjazz merupakan festival jazz tahunan yang digelar di sekitar Yogyakarta.
● Berbeda dengan festival musik pada umumnya, Ngayogjazz diselenggarakan di desa.
● Konsep Ngayogjazz layak untuk diterapkan di daerah lain untuk meningkatkan pariwisata, budaya, dan desa nasional.
Musik jazz[1] dalam catatan sejarah asalnya berakar dari komunitas Afrika-Amerika di Amerika Serikat yang terpinggirkan. Jazz kemudian berkembang sebagai musik akar rumput di luar ruang budaya arus utama.
Lambat laun karena memberikan nuansa musikal yang unik, jazz akhirnya diterima oleh semua kalangan bahkan telah membentuk niche-nya sendiri.
Begitu juga di Indonesia. Jazz kini lazim dipahami sebagai musik urban—lahir dan tumbuh di ruang kota yang modern. Namun, bukan berarti musik jazz tidak bisa diterima di daerah pedesaan.
Hal inilah yang saya lihat sendiri di Ngayogjazz 2025 yang digelar di Kelurahan Imogiri, Bantul, Yogyakarta pada Sabtu 15 November lalu.
Read more: Menilik potensi jumbo pariwisata musik nasional[2]
Jika dikemas dengan baik, ternyata pagelaran Jazz di perkampungan bisa memberikan efek domino positif yang besar. Penonton senang[3] akan sajian musik dan keindahan panorama desa. Di sisi lain, roda perekonomian desa pun meningkat.
Promosi budaya dan kearifan lokal Jawa
Bagi pencinta musik Jazz, Ngayogjazz[4] mungkin sudah tak asing. Pagelaran rutin tahunan yang pertama kali digelar tahun 2007 silam ini mengemas acara musik Jazz untuk digelar di pedesaan sekitaran DI Yogyakarta.
Uniknya, tidak ada nuansa elitis musik Jazz seperti gaya kebarat-baratan ataupun modernitas perkotaan. Festival jazz ini justru sangat men-Jowo dan men-ndeso sehingga memantik keunikannya sendiri.
Konsep men-Jawa ini membuat budaya dan aksara Jawa terpampang di mana-mana. Pertunjukan budaya Jawa yang ditampilkan juga tidak kalah banyak dengan artis jazz yang didatangkan.
Saking Jawanya, empat panggung utama juga disebar di sekitar kawasan desa bernama Jawa yakni Ibu, Biyung, Simbok, dan Simak—empat figur perempuan Jawa yang melambangkan kehangatan, kedekatan, dan ruang rumah.
Nama-nama panggung ini sejalan dengan tagline “Jazz Diundang Mbokmu”, menghadirkan suasana seolah jazz benar-benar diundang pulang ke rumah seorang ibu. Setiap panggung memiliki nuansa yang diperkaya kreativitas warga dan unsur-unsur tradisi.
Sepenglihatan saya, festival ini[5] mungkin dihadiri ribuan orang untuk datang ke Imogiri. Hal ini menandakan secara otomatis tempat berlangsungnya acara sudah mendapat promosi yang baik kepada khalayak.
Read more: Loyonya perekonomian dan banjir Sumatra berpotensi tekan Harbolnas dan wisata akhir tahun[6]
Tentunya, kawasan Imogiri juga harus memenuhi kelayakan terlebih dahulu. Selain infrastruktur dan akses yang memadai, kawasan Imogiri ini memang memiliki daya tarik pariwisata yakni seperti kompleks makam raja-raja Mataram, tradisi Jawa yang kuat, serta lanskap perbukitan yang teduh.
Menjamin manfaat bagi warga lokal dan komunitas
Agar suatu perhelatan musik bisa lebih sukses, penyelenggara perlu mengatasi aspek ketidaktahuan dan keberterimaan warga setempat. Sebab banyak warga lokal yang saya temui tidak mengetahui musik jazz meski melihat kegiatan budaya sebesar ini hadir di desa mereka.
Berkat pengalaman bertahun-tahun, agaknya isu tersebut sudah bisa dibenahi dengan baik oleh penyelenggara. Arsitektur lokal, anyaman bambu, batik Imogiri mendapat spotlight yang tidak kalah dengan para artis jazz pengisi acara.
Yang tidak kalah penting, warga lokal juga mendapat kepastian kuota untuk menjajakan usaha kuliner dan kerajinan tangan rumahannya.
Warga lokal juga terlibat dalam pengelolaan parkir, tata ruang, kelompok seni tradisi yang tampil berdampingan dengan musisi jazz. Bahkan, ada warga yang membuka halaman rumahnya sebagai tempat alternatif untuk penyelenggaraannya. Setiap orang menyumbang peran, sekecil apa pun.
Berdasarkan perbincangan dengan Ketua Panitia Lokal Imogiri, Mujiono, serta salah satu founder Ngayogjazz, Hatta Kawa, fondasi festival ini mengacu pada nilai “Ngwongke” yang berarti memanusiakan manusia.
Nilai ini tampak dari cara warga menyambut pengunjung, bekerja bergotong royong, dan menjaga ruang desa agar nyaman bagi siapa pun yang datang. Nilai sosial ini menjadi sumber munculnya kreativitas.
Read more: Menyelamatkan ekonomi bangsa dengan industri pariwisata[7]
Ngwongke bukan sekadar etika, tetapi ekosistem sosial yang membuat warga berani berinovasi, memadukan tradisi dan musik modern dalam satu ruang pertemuan.
Tidak hanya warga lokal saja, Ngayogjazz juga jadi ruang kolaborasi komunitas yang luas. Komunitas film, fotografi, barista kopi, hingga otomotif berbaur di event tersebut
Apa yang harus dilakukan desa setelahnya?
Ruang kolaborasi yang ada di Ngayogjazz menciptakan konsep co-creation[8] yang dalam ekonomi kreatif membentuk jalinan kerja sama penyelenggara, musisi, dan masyarakat.
Temuan yang saya lihat ini sejalan dengan nilai ideal dari pariwisata budaya[9] yang memicu peningkatan perputaran ekonomi, menguatnya jejaring sosial, dan tumbuhnya ruang kreatif di desa.
Pada akhirnya, pergelaran Ngayogjazz di Imogiri menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi desa tidak selalu harus dimulai dari proyek besar dan mahal.
Bagi perangkat Desa Imogiri, festival ini adalah etalase besar yang memperlihatkan wajah desa ke khalayak luas. Nilainya jauh melampaui baliho atau kampanye pariwisata konvensional.
Ia dapat tumbuh dari nilai sosial seperti ngwongke, dari rasa memiliki warga, serta dari keberanian desa membuka ruang kolaborasi yang ketika semangatnya dijaga sebagai pijakan, festival berfungsi sebagai pintu masuk—bukan tujuan akhir— untuk pengembangan pengetahuan, jejaring, dan nilai tambah desa yang berkelanjutan.
Tantangan ke depan adalah bagaimana sorotan besar terhadap desa ini bisa diterjemahkan menjadi strategi jangka panjang, bukan sekadar euforia sesaat. Desa perlu mulai memetakan potensi unggulannya—kuliner, kerajinan, lanskap, hingga tradisi—sebagai satu narasi wisata budaya yang konsisten dan berkelanjutan.
Read more: Ingin pariwisata lebih berkelanjutan? Ini 5 cara yang bisa dilakukan desa wisata[10]
Langkah konkretnya bisa dilakukan dengan membangun kalender kegiatan budaya desa, memperkuat kapasitas UMKM agar siap menerima kunjungan wisata di luar momen festival. Warga pun bisa memanfaatkan dokumentasi, konten digital, dan jalinan relasi dari Ngayogjazz sebagai materi promosi desa sepanjang tahun.
References
- ^ Musik jazz (kumparan.com)
- ^ Menilik potensi jumbo pariwisata musik nasional (theconversation.com)
- ^ Penonton senang (www.researchgate.net)
- ^ Ngayogjazz (ngayogjazz.com)
- ^ festival ini (www.tempo.co)
- ^ Loyonya perekonomian dan banjir Sumatra berpotensi tekan Harbolnas dan wisata akhir tahun (theconversation.com)
- ^ Menyelamatkan ekonomi bangsa dengan industri pariwisata (theconversation.com)
- ^ co-creation (journals.sagepub.com)
- ^ pariwisata budaya (www.researchgate.net)
- ^ Ingin pariwisata lebih berkelanjutan? Ini 5 cara yang bisa dilakukan desa wisata (theconversation.com)
Authors: Peny Meliaty Hutabarat, Dosen Tetap Program Studi Penyiaran Multimedia Vokasi Universitas Indonesia, Kandidat Doktor - Administrasi Bisnis FIA UI, Peneliti di bidang Pariwisata Musik (Music Tourism), Multiplatform dan Ekonomi Pengalaman (Experience Economy), Universitas Indonesia
Read more https://theconversation.com/ngayogjazz-konser-jazz-yang-menguatkan-desa-dan-komunitas-lokal-271656




