Jika industri terus diabaikan, Indonesia akan makin tertinggal pada 2026 dan seterusnya
- Written by Alexander Michael Tjahjadi, PhD Student in Public Finance (Applied Economics), Central University of Finance and Economics (CUFE)
● Untuk mencapai target pertumbuhan 5%, Indonesia melalui tahun 2025 dengan penuh tantangan dan rintangan.
● Selama terus bertumpu pada konsumsi, Tanah Air selamanya akan menjadi negara berkembang.
● Sudah saatnya kebijakan dilaksanakan dan tidak menjadi omon-omon semata.
Perekonomian Indonesia tumbuh secara riil 5%[1] selama triwulan ketiga tahun 2025, disumbang oleh kuatnya geliat investasi dan kontribusi ekspor netto.
Namun jika ditelaah, produktivitas Indonesia masih rendah, dilihat dari banyaknya sektor informal dan pengangguran usia muda yang tinggi. Hal ini membuat tantangan struktural ekonomi dalam negeri semakin kuat[2].
Sepanjang tahun ini, ekonomi domestik menghadapi ujian bertubi-tubi. Tantangan faktor eksternal datang dari gejolak geopolitik[3] dan perang dagang[4] yang tidak berkesudahan dan bakal berkepanjangan.
Di dalam negeri, sejumlah parameter ekonomi makro penting tahun ini, seperti konsumsi rumah tangga, impor bahan baku[5], dan konsumsi listrik industri[6], kompak melemah.
Pun dengan target penjualan mobil[7] tahun ini yang dipangkas menjadi 780 ribu unit saja dari target awal 900 ribu unit.
Yang terbaru, bencana banjir bandang Sumatra yang menerpa provinsi Aceh, Sumatra Barat, dan Sumatra Utara yang memiliki porsi 7,82% terhadap produk domestik bruto (PDB) Nasional[8] dari 38 provinsi yang ada.
Rentetan dinamika tersebut membuat target pertumbuhan ekonomi nasional 5% pemerintah dirasa cukup berat untuk tercapai. Lalu bagaimana proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan dan seterusnya jika berpatokan dengan kondisi yang ada?
Read more: Gagasan Nobel Ekonomi 2025: Pertumbuhan persisten berorientasi pengetahuan serta disrupsi[9]
2026 tetap akan jadi tahun berat
Tahun depan tekanan eksternal[10] dari gejolak geopolitik, ketidakpastian pasar keuangan, hingga jatuhnya harga komoditas utama seperti minyak dunia, batu bara, dan kelapa sawit akan jadi sorotan utama.
Tanpa kebijakan yang relevan pertumbuhan ekonomi nasional bakal stagnan dan bahkan cenderung melemah. Seperti yang diketahui, sudah puluhan tahun Indonesia terjebak dalam status negara berkembang.
Read more: IEU-CEPA bisa jadi momen mencapai pertanian berkelanjutan dan perbaikan nasib petani kecil[11]
Padahal untuk menjadi negara maju, dibutuhkan struktur dan komposisi pembangunan yang berubah untuk melawan jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap)[12].
Selama itu pula, Indonesia hanya mengandalkan konsumsi[13] sebagai motor pertumbuhan ekonominya dan susah payah mempertahankan pertumbuhan 5% di tengah tantangan ekonomi domestik dan internasional yang tidak ada habisnya.
Agar bisa lepas dari MIT[14], investasi dan inovasi harus jadi prioritas untuk meningkatkan produktivitas dan nilai. Selain itu, perlu menyiapkan sumber daya manusia yang mendukung produksi barang-barang bernilai tambah tinggi (high value added).
Hal ini sesuai dengan pesan satu dari trio pemenang nobel ekonomi tahun 2025, Phillippe Aghion dalam kuliahnya[15] tentang creative destruction (desktruksi kreatif) dan pertumbuhan ekonomi.
Konsep tentang creative destruction[16] cukup relevan terutama dalam menumbuhkan inovasi dan mekanisme yang baru, sehingga pertumbuhan dapat terjadi.
Aghion bersama Peter Howitt dalam kajian ilmiahnya pada tahun 1992 menjelaskan bahwa investasi pada penelitian dan pengembangan amat krusial untuk diterapkan[17] oleh negara berkembang seperti Indonesia.
Penguatan industri sudah harus jadi prioritas
Di saat bersamaan, Indonesia juga sedang dihadapkan dengan turunnya kelas menengah[18].
Memang pembahasan mengenai industri, ibarat mengulang lagu lama saja. Tapi selama itu juga pemerintah tetap perlu benahi kemudahan perizinan[19] untuk mengundang investor asing.
Dengan mendatangkan investasi, kita bisa mendapat lapangan pekerjaan baru dan yang tidak kalah penting yakni transfer pengetahuan dan teknologi yang bisa dijadikan pengembangan industri nasional.
Read more: Sama-sama memangkas anggaran, ini yang berbeda dari efisiensi di Vietnam[20]
Begitu juga dengan sektor digital yang digadang-gadang sebagai potensi pertumbuhan turut perlu dapat perhatian karena menyisakan segudang gap regulasi[21]. Contoh paling umumnya adalah nihilnya jaring pengaman sosial dan upah yang tidak layak.
Selain kemudahan dan integrasi perizinan pusat dan daerah, pemerintah juga perlu memberi benahi ekosistem finansial keuangan[23]. Tujuannya adalah agar perusahaan bisa mengambil kebijakan jangka panjang yang membuahkan inovasi
Loyonya industri menyebabkan menjamurnya pekerja gig worker[24]. Minimnya lapangan pekerjaan baru menyisakan persoalan sistemik seperti mudahnya masyarakat para pekerja gig untuk jatuh ke jurang kemiskinan[25].
Dampak yang dikenal sebagai salah satu efek dari low-skilled labor trap (jebakan pekerja berkemampuan rendah) berpotensi besar menciptakan ledakan kemiskinan baru.
Parahnya lagi, saat ini pekerja terdidik sudah banyak yang menjalani berbagai profesi gig economy di sektor informal karena terbatasnya lapangan pekerjaan dan maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK[26]) sepanjang tahun 2025.
Pengembangan industrialisasi militer nasional
Ada topik gagasan menarik yang disampaikan para pemenang nobel ekonomi 2025. Aghion turut menyebut industri militer bisa jadi motor industrialisasi dengan nilai tambah besar merujuk pada Defense Advanced Research Project Agency (DARPA[27]) di Amerika Serikat (AS).
Militer bisa dikonsolidasikan sebagai inovator teknologi canggih yang melengkapi peran inovasi masyarakat dan sektor swasta. DARPA yang bagus, dikonsolidasi oleh militer di AS, membuahkan beberapa teknologi seperti GPS dan beberapa teknologi yang canggih.
Hal serupa sudah dilakukan dengan baik oleh Cina. Militer Cinalah yang jadi aktor penting inovasi berbagai teknologi industri canggih negeri Panda seperti drone (pesawat nirawak) dan laser[28].
Indonesia pun saat ini nampaknya sedang melakukan pendekatan kebijakan pengembangan industri yang dimotori oleh militer. Salah satunya adalah pengembangan industri otomotif mobil nasional[30].
Pindad yang selama ini menjadi produsen peralatan militer sedang mengembangkan bisnisnya untuk menciptakan mobil komersial.
Untuk menyukseskan mobil nasional, pemerintah mendapuk proyek ini ke dalam daftar proyek strategis nasional[31] yang memberi sejumlah fasilitas khusus seperti kemudahan perizinan dan alokasi tanah pabrik.
Read more: Wacana mobil nasional bangkit lagi: Pembelajaran dari Esemka dan Timor[32]
Persoalannya sekarang, bagaimana pemerintah bisa menjamin inisiasi tersebut secara berkelanjutan. Sebab pengembangan industri seperti mobil bisa memakan waktu puluhan tahun lamanya.
Kebijakan yang dibuat sudah tidak bisa jangka pendek lagi apalagi kebijakan yang reaktif dan terus berganti sehingga menimbulkan kebingungan di masyarakat.
Sebab, tanpa pergeseran paradigma dari kebijakan populis ke kebijakan yang pro terhadap inovasi dan kompetisi kita akan menjadi negara medioker dan terjebak terus dalam middle income trap[33].
References
- ^ tumbuh secara riil 5% (openknowledge.worldbank.org)
- ^ tantangan struktural ekonomi dalam negeri semakin kuat (www.imf.org)
- ^ gejolak geopolitik (agridigi.fkp.unesa.ac.id)
- ^ perang dagang (www.cnbcindonesia.com)
- ^ konsumsi rumah tangga, impor bahan baku (nasional.kontan.co.id)
- ^ konsumsi listrik industri (www.inanews.co.id)
- ^ penjualan mobil (www.gaikindo.or.id)
- ^ 7,82% terhadap produk domestik bruto (PDB) Nasional (www.bps.go.id)
- ^ Gagasan Nobel Ekonomi 2025: Pertumbuhan persisten berorientasi pengetahuan serta disrupsi (theconversation.com)
- ^ tekanan eksternal (www.youtube.com)
- ^ IEU-CEPA bisa jadi momen mencapai pertanian berkelanjutan dan perbaikan nasib petani kecil (theconversation.com)
- ^ jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap) (www.adb.org)
- ^ konsumsi (www.tempo.co)
- ^ MIT (www.adb.org)
- ^ kuliahnya (news.cufe.edu.cn)
- ^ creative destruction (economics.mit.edu)
- ^ investasi pada penelitian dan pengembangan amat krusial untuk diterapkan (www.nobelprize.org)
- ^ turunnya kelas menengah (carnegieendowment.org)
- ^ kemudahan perizinan (mediaindonesia.com)
- ^ Sama-sama memangkas anggaran, ini yang berbeda dari efisiensi di Vietnam (theconversation.com)
- ^ menyisakan segudang gap regulasi (www.ilo.org)
- ^ Gigih Lazuardi Ibnur/ Shutterstock.com (www.shutterstock.com)
- ^ ekosistem finansial keuangan (www.project-syndicate.org)
- ^ gig worker (www.cnbcindonesia.com)
- ^ jurang kemiskinan (thediplomat.com)
- ^ PHK (insight.kontan.co.id)
- ^ DARPA (www.bruegel.org)
- ^ drone (pesawat nirawak) dan laser (www.scmp.com)
- ^ dyl0807/ Shutterstock.com (www.shutterstock.com)
- ^ industri otomotif mobil nasional (www.cnbcindonesia.com)
- ^ proyek strategis nasional (www.cnbcindonesia.com)
- ^ Wacana mobil nasional bangkit lagi: Pembelajaran dari Esemka dan Timor (theconversation.com)
- ^ dalam middle income trap (impact.monash.edu)
Authors: Alexander Michael Tjahjadi, PhD Student in Public Finance (Applied Economics), Central University of Finance and Economics (CUFE)



