Asian Spectator

Men's Weekly

.

Putusan MK berikan angin segar, tapi UU ITE tetap bermasalah

  • Written by Eka Nugraha Putra, Research Fellow at Centre for Trusted Internet and Community, National University of Singapore
Putusan MK berikan angin segar, tapi UU ITE tetap bermasalah

● MK mengabulkan sebagian gugatan uji materiil UU ITE terkait pasal penghinaan dan pencemaran nama baik.

● Putusan MK membawa angin segar mengingat cukup banyak kasus penghinaan yang dilaporkan oleh pejabat publik dan perusahaan.

● Namun, putusan tersebut tidak cukup. UU ITE perlu dirombak total.

Pada 29 April lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan uji materiil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya terkait penghinaan dan pencemaran nama baik.

Di antaranya, MK mengabulkan perubahan makna pada Pasal 27A, sehingga dugaan penghinaan tidak bisa lagi dilaporkan oleh lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan.

Selain itu, terkait Pasal 28 Ayat 2, MK juga memutus bahwa penyebaran ujaran kebencian di internet harus memenuhi unsur “substantif memuat tindakan/penyebaran kebencian berdasar identitas tertentu yang dilakukan secara sengaja dan di depan umum, yang menimbulkan risiko nyata terhadap diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan”.

Keputusan MK[1] ini menjadi angin segar bagi kebebasan ekspresi di Indonesia, mengingat cukup banyak kasus penghinaan yang dilaporkan oleh pejabat publik[2] dan perusahaan. Salah satu contohnya adalah kasus yang menimpa Daniel Tangkilisan, pemohon uji materiil perkara ini.

Daniel adalah seorang aktivis lingkungan di kepulauan Karimun Jawa, yang pernah menjadi korban “pasal karet” UU ITE. Pada 2023[3] silam, ia dilaporkan atas komentarnya di Facebook yang dianggap sebagai ujaran kebencian pada masyarakat Karimun Jawa. Meski sempat dipenjara, ia dibebaskan dari segala tuduhan[4] setelah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).

Sayangnya, karena gugatannya hanya dikabulkan sebagian, ada beberapa hal yang masih akan menjadi masalah dalam implementasi UU ITE di masa depan, khususnya terkait penafsiran penghinaan dan ujaran kebencian di internet.

Secercah harapan

Uji materiil terhadap kedua pasal UU ITE tersebut didasarkan pada beberapa argumentasi utama, antara lain instrumen hukum yang banyak digunakan pada pasal penghinaan.

Petugas kepolisian berjaga mengamankan Mahkamah Konstitusi pada 22 Agustus 2024 di Jakarta. Wulandari Wulandari/Shutterstock[5]

Berdasarkan fakta di lapangan, hukum pidana lebih sering digunakan[6] untuk kasus-kasus penghinaan ketimbang perdata.

Padahal dalam banyak kasus, penerapan hukum pidana justru seringkali menimbulkan pelanggaran HAM warga sipil, baik itu kebebasan berekspresi atau hak atas rasa aman.

Selain itu, terdapat multi interpretasi dalam menafsirkan ujaran kebencian, sehingga berpotensi mengkriminalisasi pihak yang tidak bersalah.

Sementara untuk ujaran kebencian, faktor identitas dan diskriminasi juga menjadi elemen penting dalam Putusan MK. Musababnya, ujaran kebencian di internet harus betul-betul menjadi faktor penyebab adanya kekerasan dan tindakan diskriminasi secara nyata.

Penerapan tindak pidana ujaran kebencian selama ini bermasalah karena ambiguitas tindak pidana formil atau materiil tersebut[7]. Putusan MK ini mempertegas batasan bahwa ujaran kebencian adalah tindak pidana materiil[8], yang terpenuhi setelah perbuatan pidana dilakukan dan sudah ada dampak dari tindak pidana yang terjadi.

UU ITE masih bermasalah

Terlepas bahwa MK mengabulkan perubahan makna atas pasal-pasal tersebut, UU ITE tetap menyisakan masalah prinsipal yang belum teratasi.

Salah satu masalah terbesar tersebut adalah dampak UU ITE terhadap hak asasi manusia (HAM), khususnya dalam hal kebebasan berekspresi. Implementasi aturan itu sering kali justru membatasi atau mengancam kebebasan berekspresi masyarakat.

Pertama, UU ITE ini tidak sesuai dengan kerangka hukum internasional, yaitu Kovenan Internasional atas Hak-Hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi oleh Indonesia sejak tahun 2005[9].

Dalam interpretasi resmi[10] Pasal 19 Kovenan tersebut, pembatasan HAM harus memenuhi tes tiga tahap, yaitu legalitas, legitimasi dan kebutuhan[11].

Walaupun UU ITE memenuhi prinsip legalitas–karena mencantumkan sanksi pidana–hukuman ini tidak memenuhi prinsip legitimasi. Hukuman pidana justru membatasi hak individual dan bukan berdasarkan hal-hal yang diatur dalam Kovenan, yaitu reputasi, hak asasi orang lain, kepentingan publik, kesehatan masyarakat, dan keamanan nasional.

Misalnya, pemidanaan terhadap orang yang melakukan kritik [12] terhadap sebuah produk dan kritik atas pelaksanaan penerimaan pegawai[13] universitas.

Lebih ironisnya lagi, dalam waktu kurang lebih satu minggu setelah putusan MK ini, Kepolisian kembali menangkap seorang mahasiswi karena membuat meme AI “ciuman Prabowo-Jokowi[14]”. Ini semakin membuktikan bahwa masalahnya ada pada ketidakpatuhan penegak hukum pada substansi UU.

Potret seorang penjahat yang diborgol dalam pakaian penjara. Adam Erlangga/Shutterstock[15]

Kedua, dalam uji materiil, pihak pemohon sebetulnya mengajukan bahwa pemaknaan Pasal 27A UU ITE juga tidak berlaku untuk figur publik. Sayangnya, MK tidak mengabulkan gugatan ini.

Hal ini akan berdampak pada persoalan potensi kriminalisasi[16], mengingat penyalahgunaan UU ITE sering muncul dari pelapor yang lebih punya kuasa dan uang untuk melakukan proses hukum.

Selain itu, pelaporan kasus-kasus UU ITE juga sering muncul dari isu-isu yang tidak berkaitan dengan kepentingan publik, bahkan isu-isu pribadi, seperti tidak terima ditagih hutang[17] dan humor sepele soal kepala botak [18].

Kasus semacam ini sepertinya masih eksis karena keberadaan pasal penghinaan yang mengatur pencemaran lisan atau tertulis yang tidak menyerang reputasi seseorang dan hak orang lain. Pengaturan pasal ini berarti ejekan biasa kepada nama seseorang atau fisik yang tidak berdampak pada faktor identitas (ujaran kebencian) dan reputasi merupakan kejahatan.

Sayangnya, baik KUHP sekarang (pasal 315) maupun KUHP 2023 yang akan secara resmi berlaku tahun depan (Pasal 436) masih mengaturnya.

UU ITE perlu diubah total

Saat ini kita membutuhkan perubahan total terkait UU ITE dan KUHP, dan perubahan itu harus memasukkan elemen kepentingan publik, baik dari segi substansi dan implementasi[19].

Mengingat sebagian pasal di UU ITE akan tidak berlaku seiring dengan berlakunya KUHP 2023, maka perumusan aturan penghinaan baik daring maupun luring sebaiknya patuh pada kerangka hukum internasional, yang tidak mempidanakan ekspresi. Sebab hal ini akan berdampak buruk pada HAM dan demokrasi.

References

  1. ^ Keputusan MK (www.kompas.id)
  2. ^ pejabat publik (www.republika.id)
  3. ^ Pada 2023 (www.amnesty.id)
  4. ^ dibebaskan dari segala tuduhan (www.google.com)
  5. ^ Wulandari Wulandari/Shutterstock (www.shutterstock.com)
  6. ^ hukum pidana lebih sering digunakan (safenet.or.id)
  7. ^ ambiguitas tindak pidana formil atau materiil tersebut (theconversation.com)
  8. ^ tindak pidana materiil (www.hukumonline.com)
  9. ^ tahun 2005 (jdih.mahkamahagung.go.id)
  10. ^ interpretasi resmi (docs.un.org)
  11. ^ legalitas, legitimasi dan kebutuhan (www.ohchr.org)
  12. ^ kritik (www.kompas.id)
  13. ^ kritik atas pelaksanaan penerimaan pegawai (www.bbc.com)
  14. ^ ciuman Prabowo-Jokowi (www.kompas.id)
  15. ^ Adam Erlangga/Shutterstock (www.shutterstock.com)
  16. ^ potensi kriminalisasi (kbr.id)
  17. ^ ditagih hutang (www.cnnindonesia.com)
  18. ^ humor sepele soal kepala botak (www.kompas.id)
  19. ^ elemen kepentingan publik, baik dari segi substansi dan implementasi (www.routledge.com)

Authors: Eka Nugraha Putra, Research Fellow at Centre for Trusted Internet and Community, National University of Singapore

Read more https://theconversation.com/putusan-mk-berikan-angin-segar-tapi-uu-ite-tetap-bermasalah-256625

Magazine

Putusan MK berikan angin segar, tapi UU ITE tetap bermasalah

Ilustrasi laptop dan borgol.Gorlov Alexander/Shutterstock● MK mengabulkan sebagian gugatan uji materiil UU ITE terkait pasal penghinaan dan pencemaran nama baik.● Putusan MK membawa angin ...

Refleksi reformasi: 3 kendala media dalam menyajikan isu HAM yang mendalam

Fotografi poster yang berisi daftar nama korban insiden Kanjuruhan sebagai tanda menuntut keadilan oleh publik terhadap pemerintah.Djakandakandaduo/Shutterstock● Isu hak asasi manusia (HAM) tak ...

3 klasifikasi siswa dalam pendidikan perubahan iklim. Kamu yang mana?

● Kaum muda Indonesia memiliki pemahaman dan sikap yang beragam terhadap perubahan iklim.● Terdapat tiga kelompok utama yaitu si Ragu, si Pelajar, dan si Advokat.● Pendidikan perubah...