Asian Spectator

Men's Weekly

.

Janji Prabowo ratifikasi aturan global buruh perikanan: Apakah hanya “omon-omon”?

  • Written by Benni Yusriza Hasbiyalloh, Associate lecturer, Paramadina University
Janji Prabowo ratifikasi aturan global buruh perikanan: Apakah hanya “omon-omon”?

● Ucapan Prabowo memperpanjang rentetan janji pemerintah memperkuat aturan perlindungan awak kapal perikanan.

● Buruh perikanan Indonesia mengalami eksploitasi sistematis akibat lemahnya peraturan.

● Ratifikasi Konvensi ILO No.188 dapat menjadi solusi serta mendorong perbaikan dari masalah sistematis ini.

Dalam pidato Hari Buruh Internasional 2025 di Jakarta, Presiden Prabowo Subianto berjanji akan meratifikasi Konvensi ILO No. 188 Tahun 2007 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan (K-188)[1].

Disampaikan di hadapan ratusan ribu buruh, janji ini menjadi angin segar bagi Awak Kapal Perikanan (AKP) Indonesia, pekerja yang selama ini terombang-ambing dalam perlindungan hukum yang belum utuh.

Namun, janji itu bukan yang pertama. Selama bertahun-tahun, rencana ratifikasi Konvensi ILO 188 telah beberapa kali diwacanakan pemerintah.

Kini, saat janji serupa kembali diucapkan oleh presiden baru, pertanyaannya bukan lagi apakah, melainkan kapan komitmen ini diwujudkan secara nyata. Mengapa K-188 penting bagi Indonesia? K-188 dapat berfungsi sebagai dasar hukum internasional untuk memperkuat perlindungan awak kapal perikanan (AKP) Indonesia di kapal lokal maupun asing. Konvensi ini tidak hanya menetapkan standar minimum kondisi kerja yang layak di laut, tetapi juga menyediakan kerangka hukum untuk merestrukturisasi sistem perlindungan AKP yang terfragmentasi. Konvensi juga memperjelas peran dan tanggung jawab kementerian terkait, serta menetapkan standar nasional yang seragam dalam perekrutan dan penempatan. Ratifikasi juga bisa membantu mengakhiri eksploitasi sistematis terhadap AKP di Indonesia, yang saat ini terjadi baik di perairan domestik maupun internasional. Di perairan domestik, studi terbaru di empat pelabuhan utama[2] Indonesia mengungkap fakta memprihatinkan bahwa sebagian besar AKP lokal bekerja tanpa kontrak tertulis, minim pemahaman tentang hak-haknya, dan direkrut melalui perantara informal tanpa kejelasan pemberi kerja sesungguhnya. Temuan Ford & Palmer (2025)[3] bahkan mengonfirmasi bahwa kondisi kerja AKP domestik memenuhi seluruh indikator seafood slavery dalam standar internasional, mulai dari jam kerja berlebihan hingga peniadaan akses terhadap kontrak dan perlindungan hukum. Permasalahan ini diperparah oleh ketidakjelasan kategorisasi dalam sistem pendataan nasional. Portal Satu Data KKP[4] mencatat sekitar 3,2 juta orang bekerja sebagai nelayan hingga 2023, tanpa membedakan antara nelayan pemilik, pekerja lepas, dan nelayan buruh yang bekerja sebagai AKP di kapal milik orang lain. Ketiadaan data yang terpilah ini menjadi masalah dasar karena membuat kelompok yang paling rentan menjadi tidak terlihat. Data tak terpilah juga menghambat perumusan kebijakan berbasis bukti dan menciptakan celah pelanggaran dalam pemantauan efektivitas Perjanjian Kerja Laut (PKL)[5]. Sementara itu, ribuan AKP migran Indonesia di kapal asing menghadapi kerentanan serupa. Menurut ILO (2020), sekitar 23 ribu[6] warga negara Indonesia direkrut setiap tahun untuk bekerja di kapal perikanan berbendera Malaysia, Korea Selatan, dan Taiwan.
323 anak buah kapal PBR Benjina di Tual, Maluku, April 2015. Ratusan orang ini menjadi korban dari perbudakan modern di kapal perikanan tangkap yang beroperasi di wilayah Indonesia timur. (KKP)[7]

Ironisnya, Indonesia tidak memiliki data terintegrasi yang dapat diakses publik tentang jumlah pasti AKP migran. Ini kontras dengan transparansi di negara tujuan seperti Taiwan yang mencatat sekitar 20,6 ribu AKP Indonesia bekerja di kapal mereka pada akhir 2024.[8]

Ketiadaan data terpilah nasional AKP Migran ini merupakan konsekuensi dari dualisme rezim penempatan[9]. Maksudnya, di satu sisi, mereka tergolong sebagai pelaut yang tunduk pada Kementerian Perhubungan. Namun, di sisi lain melaksanakan prosedur sebagai pekerja migran oleh Kemnaker dan KP2MI/BP2MI.

Alhasil, dualisme menghasilkan sistem pencatatan yang tumpang tindih dan perlindungan yang tidak efektif.

Praktik perekrutan dan penempatan AKP migran yang beragam semakin memperburuk situasi. PKL dapat dibuat melalui berbagai jalur yang berbeda, tanpa standar nasional yang jelas dan seragam.

Akibatnya, pekerja sering tidak mengetahui siapa pemberi kerjanya, tidak memahami kontraknya, tidak dapat mengakses mekanisme pengaduan, hingga terjerat utang perekrutan.

Kondisi ini menciptakan ekosistem risiko kerja paksa yang sistematis: dari jam kerja ekstrem, penahanan dokumen, hingga kekerasan fisik dan verbal.

Saatnya janji menjadi kenyataan?

Ratifikasi K-188 sebenarnya tidak akan menambah beban regulasi, melainkan memperkuat peraturan Indonesia saat ini.

Misalnya, Peraturan Menteri KKP No. 33 Tahun 2021[10] serta Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2022[11] telah mengatur hal-hal pokok seperti perjanjian kerja tertulis, jam kerja dan istirahat, jaminan sosial, hingga mekanisme pengaduan dan perjanjian kerja bersama. Keduanya cukup sejalan dengan K-188.

Ratifikasi ini juga akan memperkuat posisi diplomatik dan daya saing produk perikanan kita. Apalagi pasar internasional kini tidak hanya menilai hasil laut dari kuantitasnya, tetapi juga dari cara produksinya.

Komitmen terhadap kerja layak akan menjadi sinyal bahwa Indonesia tidak membangun industri perikanan di atas penderitaan dan pengorbanan pekerja.

Kini, janji politik telah diucapkan Prabowo. Regulasi domestik telah tersedia. Dukungan dari serikat pekerja, organisasi masyarakat sipil, dan komunitas internasional semakin kuat. Pemerintah dan DPR hanya tinggal menyatukan langkah untuk meratifikasi Konvensi ILO 188 pada tahun pertama pemerintahan Prabowo-Gibran.

Awak kapal perikanan kita tidak butuh belas kasihan; mereka butuh perlindungan. Dan itu hanya akan datang jika kita berani menjadikan K-188 sebagai komitmen, bukan sekadar “omon-omon”.

Authors: Benni Yusriza Hasbiyalloh, Associate lecturer, Paramadina University

Read more https://theconversation.com/janji-prabowo-ratifikasi-aturan-global-buruh-perikanan-apakah-hanya-omon-omon-256579

Magazine

Janji Prabowo ratifikasi aturan global buruh perikanan: Apakah hanya “omon-omon”?

Prabowo dalam perayaan Hari Buruh Internasional di Monas, Jakarta, 1 Mei 225.(Donny Hery/Shutterstock)● Ucapan Prabowo memperpanjang rentetan janji pemerintah memperkuat aturan perlindungan awak...

Dari NIKI hingga No Na: Indonesia punya bakat, tapi pemerintahnya tak bisa jadi ‘support system’

Ilustrasi seperangkat alat musik modern untuk latihan band musik di sebuah studio.Ari_Achmad Rizal/Shutterstock● Muncul nama-nama musisi Indonesia yang menjadi representasi baru wajah musik tana...

AI bisa mengancam seniman dan melanggar hak cipta: Perlu diregulasi, bukan dilarang

Ilustrasi tulisan AI vs Seni menunjukkan konsep Kecerdasan Buatan yang menciptakan konten generatif berdasarkan seni yang dibuat oleh manusia. faithie/Shutterstock● Kehadiran AI akan berdampak p...