Indonesia tak lagi bebas siklon, kapan pemerintah serius bangun sistem manajemen bencana?
- Written by Dewi N. Piliang, Environment Editor, The Conversation
● Indonesia tengah dikepung siklon tropis dan bibit siklon.
● Siklon tersebut meningkatkan potensi hujan ekstrem, gelombang tinggi, dan bencana hidrometeorologis.
● Kita membutuhkan sistem peringatan dini serta mitigasi bencana yang lebih serius.
Dalam sidang kabinet di Istana Kepresidenan Senin, 15 Desember lalu, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Teuku Faisal Fathani melaporkan kepada Presiden Prabowo Subianto bahwa Indonesia saat ini tengah dikepung tiga siklon tropis.[1] Ketiga siklon ini berpotensi meningkatkan cuaca ekstrem dan risiko bencana hidrometeorologis seperti banjir bandang hingga tanah longsor.
Pertama adalah Siklon Bakung[2] yang berkembang di wilayah barat daya Lampung. Meski siklon ini sudah menjauhi wilayah Indonesia, kita tetap bisa merasakan dampaknya secara tidak langsung.
Dua bibit siklon lainnya adalah bibit Siklon 93S di selatan Bali, Nusa Tenggara, dan Jawa Timur, serta bibit Siklon 95S yang baru muncul di selatan Papua. Keberadaan siklon dan bibit siklon tersebut diperkirakan bakal meningkatkan potensi hujan lebat serta gelombang tinggi di perairan sekitar wilayah Indonesia.
Teuku menyebut, risiko cuaca ekstrem juga kian meningkat karena perairan Indonesia lebih hangat dari biasanya. Adapun laut yang hangat[4] berisiko memicu badai, karena siklon mendapatkan energi dari perairan hangat.
“Indonesia menjadi semacam steam engine atau tungku di mana terbentuk awan tinggi dan juga pertumbuhan siklon-siklon tropis,” ujar Teuku Faisal saat melaporkan kondisi cuaca terkini kepada Prabowo[5].
Read more: Siklon yang ‘lemah’ kini bisa memicu banjir mematikan: Dampak nyata perubahan iklim dan pemanasan laut[6]
BMKG memprediksi puncak musim hujan di wilayah Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara akan terjadi pada Januari, sementara Sumatera bagian utara dan tengah telah memasuki puncak musim hujan sejak November hingga Desember.
Siklon memang jarang terbentuk dekat garis khatulistiwa, termasuk wilayah Indonesia. Sebab, kekuatan Coriolis[7] atau gaya semu akibat rotasi bumi yang diperlukan untuk memutar badai, terlalu lemah di khatulistiwa. Tanpa putaran itu, badai sulit terbentuk menjadi siklon.
Tapi November lalu, siklon Senyar muncul di utara khatulistiwa dan memicu terjadinya banjir besar yang mematikan di wilayah Sumatra.
Para ahli memperkirakan laut yang menghangat berkontribusi menjadi ‘bahan bakar’ terbentuknya badai, sehingga siklon yang lemah[8] sekalipun bisa membawa curah hujan yang tinggi.
Read more: Pilu kematian dan kehancuran akibat banjir bandang: Mengapa siklon langka di khatulistiwa dan badai lain melanda selatan Asia[9]
Pakar cuaca dan iklim ekstrem di Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Erma Yulihastin, menyebutkan bahwa sejak beberapa tahun belakangan, Indonesia tak lagi bebas dari badai tropis.
“Sejak ada (siklon) Seroja, saya sudah konsisten mengatakan di mana-mana bahwa Indonesia sudah tak lagi ‘free’ dari badai tropis,” ujar dia dalam Webinar[10] Organisasi Riset Kebumian dan Maritim BRIN pada Selasa, 9 Desember 2025.
Menurut Erma, lembaganya sudah mengembangkan aplikasi berbasis web, Kamajaya dan Sadewa, untuk memantau potensi siklon tropis di Indonesia. Alat ini terbukti bisa memprediksi Siklon Seroja di Nusa Tenggara Timur pada 2021 ataupun sebelum Siklon Senyar di Sumatra pada November lalu.
Pusat prakiraan cuaca global European Centre for Medium-Range Weather Forecasts (ECMWF)[11], ujar dia, juga sudah memprediksi (90-100%) Senyar akan mendarat di Sumatra.
Prakiraan cuaca ini semestinya menjadi dasar bagi pemerintah pusat dan daerah untuk mengambil langkah mitigasi guna meminimalisir dampak. “Early warning system sangat menentukan. Perlu mitigasi untuk menekan dampak katastropik, kalau penanganan ya sudah tidak bisa lagi,” tuturnya.
Menurut Erma, Indonesia membutuhkan komite atau tim koordinasi khusus untuk merespons cuaca ekstrem. “Kita butuh semacam komite atau apa pun bentuknya, yang menggabungkan berbagai pakar supaya kita bisa merespons cepat,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Peneliti Pusat Riset Kependudukan BRIN, Yanu Endar Prasetyo menyayangkan bahwa bangsa ini tidak pernah belajar dari siklon sebelumnya untuk melakukan langkah mitigasi yang lebih baik.
Di samping itu, tambahnya, pemerintah selaku otoritas pembuat kebijakan juga tidak mendengarkan rekomendasi ilmuwan. “Kebijakan-kebijakan kita tidak berbasis hasil riset,” ujar dia.
Tak ayal, lebih dari seribu jiwa[12] melayang saat banjir Sumatra karena gagal mengantisipasi bencana.
Yanu juga menyoroti arah kebijakan yang fokus menggenjot ekonomi ekstraktif tanpa memerhatikan lingkungan. “Panglima pembangunan kita ekonomi, bukan ekologi, seharusnya keduanya berjalan seimbang,” tuturnya.
Read more: Saat respons negara lambat, masyarakat bisa cek sendiri potensi bencana pakai satelit. Bagaimana caranya?[13]
Dengan sistem yang lumpuh, ketahanan masyarakat adalah harapan yang tersisa.
Namun, ujar Yanu, sebagian masyarakat Indonesia juga cenderung ‘fatalis’ alias menganggap bencana itu takdir yang tidak bisa dihindari. Akibatnya, masyarakat juga tidak bersiap, meski lembaga seperti BMKG sebenarnya sudah memberikan peringatan.
Oleh karena itu, menurut Yanu, komunikasi bencana perlu diperbaiki. Salah satunya dengan mengombinasikan antara pendekatan modern dan tradisional.
Kanal-kanal tradisional yang lebih dekat dengan masyarakat, seperti pengurus masjid atau gereja, misalnya perlu dilatih dan diaktifkan untuk memberikan peringatan dini sebelum terjadi bencana.
References
- ^ tiga siklon tropis. (nasional.kompas.com)
- ^ Siklon Bakung (www.bmkg.go.id)
- ^ BMKG (www.bmkg.go.id)
- ^ laut yang hangat (science.nasa.gov)
- ^ Prabowo (www.youtube.com)
- ^ Siklon yang ‘lemah’ kini bisa memicu banjir mematikan: Dampak nyata perubahan iklim dan pemanasan laut (theconversation.com)
- ^ Coriolis (oceanservice.noaa.gov)
- ^ siklon yang lemah (theconversation.com)
- ^ Pilu kematian dan kehancuran akibat banjir bandang: Mengapa siklon langka di khatulistiwa dan badai lain melanda selatan Asia (theconversation.com)
- ^ Webinar (www.youtube.com)
- ^ (ECMWF) (www.ecmwf.int)
- ^ seribu jiwa (databoks.katadata.co.id)
- ^ Saat respons negara lambat, masyarakat bisa cek sendiri potensi bencana pakai satelit. Bagaimana caranya? (theconversation.com)
Authors: Dewi N. Piliang, Environment Editor, The Conversation



